OLAHRAGA: KESEHATAN, BENTUK PERLAWANAN, DAN ALAT KUASA

Pemantik: Raka Pandu

Tetap sehat hakikatnya adalah prinsip dasar yang harus dimiliki manusia, dan hal termudah untuk memiliki sehat adalah rutin berolahraga.  Begitu pentingnya berolahraga, sejarah mencatat bahwa manusia sudah melakukan aktivitas ini sejak masa prasejarah. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya lukisan-lukisan dinding di Gua Lascaux di Prancis. Dari lukisan itu terlihat menampilkan seseorang tengah melakukan olahraga lari cepat dan gulat pada era Paleolitikum Akhir sekitar 15.300 tahun silam dan berkembang pesat di masa mesir kuno hingga masa modern seperti sekarang.

Namun kita tidak sedang membahas tentang bagaimana olahraga berevolusi di setiap jaman, namun bagaimana olahraga berperan dalam kehidupan masyarakat. Tak hanya membuat tubuh semakin bugar dan sehat, olahraga bisa digunakan sebagai alat untuk merealisasikan tujuan-tujuan tertentu yang kadang berhubungan dengan nilai-nilai kemanusian. Mulai dari aktivitas perlawanan atas suatu penindasan hingga sebagai media perdamaian.

Olahraga sebagai alat bisa terlihat dari contoh bagaimana olahraga melawan rasisme pernah digambarkan dalam film dari kisah nyata berjudul Glory Road. Film ini menceritakan tentang perjuangan anak kampus yang gandrung akan basket bersama pelatihnya, Don Haskins. Singkat cerita, ketika isu rasialis warna kulit sangat kuat di Amerika kala itu sang pelatih dengan berani untuk pertama kalinya memainkan dan mengijinkan anak kulit hitam bermain dan mengikuti kejuaraan NCAA. Atas keberanian sang pelatih dalam menampilkan kesetaraan ras inilah menjadi tonggak perlawanan rasisme di Negara Paman Sam. Inilah bukti nyata permasalahan kontruksi sosial yang mengakar dapat dilawan dengan olahraga dan menjadi tonggak persatuan antar manusia.

Contoh lain pada tahun 2016, seorang Atlet American Football atau bisa disebut NFL, liga tertinggi Amerika itu melakukan aksi berlutut di tengah berkumandangnya lagi kebangsaan Amerika sebagai protes bagaimana negara melakukan penekanan dan rasisme terhadap warga kulit hitam. Aksi itupun  membuat seorang atlet itu terdepak dan tidak ada satupun club NFL yang berani memberikan kontrak karena ancaman pejabat negara atas perbuatannya. Walaupun begitu, atas sikapnya yang berani itulah membuat banyak atlet lain tergerak melakukan hal yang sama, yaitu “melawan rasisme”. Sebuah hal yang jadi polemik yang tak kunjung selesai di Negara Adidaya itu, barangkali Jackie Robinson atlet Bisbol pertama berkulit hitam di liga profesional Amerika di tahun 1945 juga sebagai contoh nyata seberapa lama isu rasisme sudah terjadi.

Tidak hanya sebagai alat perlawanan, olahraga ternyata bisa menjadi dapur pacu untuk masyarakat agar mendapatkan pendidikan yang layak. Contohnya melalui beasiswa dengan jalur khusus sebagai atlet olahraga atau biasa disebut Student Athlete. Beberapa diantaranya seperti Derrick Michael Xavierro pemain basket indonesia pertama yang berhasil menembus Grand Canyon University yang berlaga di NCAA dan mungkin bisa berkesempatan menjadi orang pertama dari Indonesia yang berhasil bermain di liga basket terbaik dunia NBA.

Begitu besar manfaat olahraga, mulai hanya untuk kesehatan merambah pada alat perlawanan hingga perdamaian. Begitu besar perannya pun kemudian olahraga kini juga tak jarang menjadi celah berpolitik untuk menuju pada tampuk kekuasaan. Dalam hal ini seperti yang dilakukan Pablo Escobar dengan membeli club Sepak Bola kampung halamannya Altetico National. Pembelian club itupun bukan tanpa alas an, tetapi dimuati oleh kepentingan politik, terlebih untuk mencari simpati warga kampong halamannya sekaligus untuk memenuhi hasratnya menjadi penguasa tunggal Kolombia walau sampai akhir hayatnya tak pernah tercapai. Lantas bagaimana nasib olahraga akhir-akhir ini? Tetapkah olah raga hanya sebagai alat kesehatan saja seperti pada pengertian hakikatnya? Apakah olahraga dapat dipakai dasar kemajuan bangsa? Atau hanya akan digunakan untuk menjadi alat mencari keuntungan semata? Tentu semua bisa dibicarakan. Mari berdiskusi.

Kiri Hijau Kanan Merah: Jalan Panjang yang tak Pernah Akhiri Rasa Kecewa

Pemantik: Kevin Alfirdaus

Tiga tahun lalu, pada September 2019, saya bertemu Suciwati untuk kedua kalinya. Ia membuka kalimat, mempersilahkan angkatan muda untuk membaca dokumen Tim Pencarian Fakta (TPF).  Berusaha meyakinkan pada publik jika ia berjuang mencari keadilan dirinya sendiri dan juga mendiang Munir Said Thalib.  Kurang lebih kata-katanya begini “Sampai kapan kamu (Suciwati) mau begini terus? Kamu gak takut terror?” kemudian, ia menjawab tanpa rasa ragu.

“Saya sudah menemukan teror yang paling besar. Orang yang paling saya cintai di hidup saya. Ini soal pilihan hidup atas orang yang saya sayangi”

Melihat betapa September terekam menjadi bulan yang kelam, menjadi hal yang paling menabjubkan beberapa orang (bahkan keluarga korban sekalipun) berusaha bersuara meski di paksa bisu oleh Negara. Saya juga mengerti jika keberanian memang benar-benar menular. Semua gambaran yang tegas tentang kehidupan yang layak, terasa masuk ke semua perasaan saya. Dalam Film Dokumenter Kiri Hijau Kanan Merah seperti metafora, tentang diam yang mencoba untuk teriak. 

Sampailah saya tau, oleh jutaan mill kenangan yang memungkinkan beberapa orang kerabat saling peduli dan mengambil resiko, cinta mendorong mereka untuk berpikir bahwa hidup itu sangat membingungkan. Tetapi di sebuah ujung pistol, di mana para polisi dapat menarik pelatuk dan menembak beberapa orang untuk meninggalkan kematian, menjadikan tradisi tumbuhnya benih-benih baru untuk melawan ketidakadilan dan juga menyelesaikan catatan merah pelanggaran HAM di Indonesia.

Keadilan yang Raib, dan Jalan Panjang Resistensi Perjuangan Hak Asasi Manusia

Munir mungkin adalah satu dari sekian persen dari gambaran betapa gagalnya negara dalam menuntaskan kasus pelanggaran HAM akarnya. The great people is measured regional grow. Ungkapan ini mungkin yang dapat menggambarkan semangat pejabat publik di Indonesia. Di mana hampir dalam setiap kampanye nya, ukuran dari indeks kebahagiaan diukur dari kebahagiaan mayoritas. Namun, apakah tepat sasaran? Apakah kita merasa adil?

John Rawls, pernah memberikan satu analisa berjudul a theory of justice, di mana Rawls mencoba memberikan alternatif teori moral untuk utilitarianisme yang dicetuskan oleh Jeremy Bentham hingga dilanjutkan tradisinya oleh John Stuart Mill (Sensus penduduk paling terkenal).

A theory of justice :
1. The greatest equal liberty principle
“Setiap orang memiliki hak yang sama atas sistem total yang paling luas dari kebebasan dasar yang sama yang kompatibel dengan sistem kebebasan yang sama untuk semua”
2. The difference principle
“Ketimpangan sosial dan ekonomi harus diatur sedemikian rupa sehingga memberikan manfaat terbesar bagi anggota masyarakat yang paling tidak beruntung, konsisten dengan prinsip tabungan yang adil”
3. The equal opportunity principle
“Ketimpangan sosial dan ekonomi harus diatur sedemikian rupa sehingga melekat pada jabatan dan posisi yang terbuka bagi semua orang di bawah kondisi persamaan kesempatan yang adil”

Namun, kenyataannya justru sistem hukum dan ekonomi memiliki dominasi yang paling besar dalam contoh kasus negara-negara yang ada di dunia. Sistem pranata sosial memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap kondisi kehidupan manusia di dalamnya, dimana keadilan yang utama adalah struktur dasar masyarakat, bukan individu dan orang-orang yang tak punya status quo seperti masyarakat adat dan lainnya. Sikap, keputusan, dan tindakan seseorang dipengaruhi oleh faktor hukum dan sosial politik. Akibatnya, muncul berbagai persoalan keadilan.

Lalu, bagaimana orang-orang kecil yang tak memiliki suara? Yang rumah dan kampungnya di gusur, air nya tercemar, dan keluarganya tak kembali? Adakah orang-orang yang berkata dengan jujur jika Kota Bandung yang disebut kota Ramah HAM karena diukur dari fasilitasi publik yang mendukung agenda kemajuan kota, bukan dari aspek pemenuhan Hak Asasi Manusianya. Bagaimana para pedagang yang kesulitan mencari biaya sewa hingga orang-orang RW11 Taman sari dan warga Anyer dalam karena penggusuran telah menggangu jalannya investasi dan pertumbuhan ekonomi negara? Dalam konsep ultiliatarian, pelanggaran HAM seakan menjadi proyek yang di normalisasi oleh pemerintah. Konsep ini tidak untuk orang kecil seperti kita.

Pemenuhan Hak Asasi Manusia adalah tanggung jawab negara

Dalam hukum hak asasi manusia internasional, pengertian “tanggung jawab negara” berkaitan dengan kewajiban negara dalam pemenuhan, perlindungan dan penghornatan hak asasi manusia yang diakui secara internasional.

Negara dianggap melakukan pelanggaran berat HAM (gross vilence of human rights) jika:
1. Negara tidak berupaya melindungi atau justru meniadakan hak-hak warganya yang digolongkan sebagai non-derogable rights; atau
2. Negara yang bersangkutan membiarkan terjadinya atau justru melalui aparat-aparatnya tindakan kejahatan internasional (international crimes) atau kejahatan serius (seriouse crimes) yaitu kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang; dan/atau negara tersebut gagal atau tidak mau menuntut pertanggungjawaban dari para aparat negara pelaku tindak kejahatan tersebut.

Negara juga merupakan international person yang menjadi pihak dari berbagai perjanjian internasional mengenai HAM, baik yang berupa konvensi, kovenan, statuta, atau bentuk perjanjian lainnya, beserta segala wewenang dan tanggungjawab yang melekat padanya sebagai negara pihak dari perjanjian tersebut.

Ada berbagai permasalahan tengah terjadi, seperti pada tanggal 7 September 2004 – Pembunuhan tokoh aktivis Ham Munir Said Thalib, 12 September 1984 – Tragedi berdarah Tanjung Priok, 23 September 2019 – Tragedi Kerusuhan Wamena, 24 September 1999 – Tragedi Semanggi II, 26 September 2015 – Pembunuhan Salim kancil,30 September 1965 – Tragedi berdarah G30SPKI dan pelanggaran Ham lainnya menjadi peringatan yang erat hubungannya dengan nestapa dan tangis, yang di dalamnya terdapat sederet PR untuk pemerintah. Munir ada di mana-mana. Dari pamflet yang ditempel orang dengan identitas anonim di pusat kota. Coretan di dinding dan halte-halte. Hingga seruan aksi dari tahun ke tahun yang menjadi janji setia akan komitmen penyelesaian pelanggaran HAM di Indonesia.

URGENSI DAN PERAN BAHASA INGGRIS

Pemantik: Hardina DN

Banyak orang berfikir “perlu nggak sih belajar Bahasa Inggris?” pertanyaan yang sekarang ini tidak perlu dipertanyakan kembali. Meningkatnya interdependensi antarnegara menjadikan Bahasa Inggris tidak lagi hanya menjadi Bahasa pertama (English as First Language) di negara-negara penggunanya,tetapi juga merupakan Bahasa seluruh negara di dunia dalam posisinya sebagai lingua franca.  Saat ini Bahasa Inggris sudah menjadi begitu kuat dan berpengaruh. Kesadaran akan Bahasa inggris membuat orang mengerti apa yang mereka butuhkan sehingga mereka dapat memanfaatkan peluang yang ada (Hutchinson & Waters, 1987).

Banyak negara yang menganggap Bahasa Inggris sebagai salah satu mata pelajaran terpenting sehingga diajarkan sejak tingkat SD (Sekolah Dasar) sampai PT (Perguruan Tinggi). Mereka berpandangan bahwa negara membutuhkan lebih banyak orang yang mahir berbahasa Inggris untuk dapat bertahan sebagai bagian dari komunitas global. Bahasa Inggris dianggap sebagai alat untuk mengenal lebih banyak tentang budaya asing dalam perspektif internasional (Panggabean, 2017)

Namun, meskipun Bahasa Inggris di Indonesia telah dipelajari secara luas, masih banyak penduduk Indonesia yang belum mampu menggunakan Bahasa Inggris. Umumnya mereka hanya menggunakan Bahasa inggris di waktu-waktu tertentu, selain itu kemahiran dalam berbahasa Inggris juga menjadi salah satu syarat penerimaan mahasiswa di jenjang S2 dan S3 di beberapa PT dan merupakan legalisasi permintaan dalam melamar pekerjaan. 

Selain itu, dalam bidang penulisan karya ilmiah untuk publikasi di jurnal Internasional yang terindeks Scopus, Elsevier,ataupun yang lain, Indonesia masih belum menandingi negara tetangga. Menurut Scimago Journal Ranking, (https://www.scimagojr.com/countryrank.php) Indonesia berada di bawah Singapura, Malaysia, Pakistan,  Iran, dan Korea Selatan. Sebagai catatan, untuk masuk dalam peringkat universitas tingkat dunia, sebuah PT harus memenuhi sejumlah standar internasional yang tidak terlepas dari kemahiran berbahasa Inggris. 

Urgensi lain penguasaan Bahasa Inggris di Indonesia adalah untuk mempersiapkan  tenaga kerja Indonesia memasuki pasar Internasional dengan standar yang lebih tinggi dari yang sekarang  sehingga dapat mempercepat transformasi ekonomi dan teknologi. Dalam tahap awal seleksi administrasi, sudah sangat umum bahwa setiap perusahaan meminta nilai TOEFL yang sesuai capaian target untuk mengetahui tingkat kemahiran calon pegawainya. Baru saja pembukaan sekeksi CPNS 2019 dibuka, lebih kurang 11 instansi sudah menetapkan skor TOEFL minimum untuk dapat lolos verifikasi berkas. Salah satu instansi semacam Kementrian Luar Negeri hanya membuka 132 jumlah formasi yang akan diperebutkan oleh orang-orang se-Indonesia yang mana dari awal jika tingkat nilai kemahiran pelamar di bawah nilai minmum, bisa dipastikan pelamar tidak akan melenggang ke seleksi selanjutnya.

Adapun peran Bahasa Inggris di dunia dapat dikategorikan atas tiga yakni English as First Language (EFL), English as a Second Language (ESL), dan English as a Foreign Language (EFL). Bahasa Inggris yang digunakan sebagai alat komunikasi serta Bahasa resmi seperti di Inggris, Amerika Serikat, dan beberapa negara bagian termasuk klasifikasi English as First Language dimana mereka menggunakan Bahasa Inggris sebagai Bahasa pertama mereka. Sedangkan di negara di mana Bahasa Inggris menempati posisi sebagai ESL (Bahasa kedua), Bahasa Inggris dipelajari dan digunakan secara luas sebagai Bahasa sehari-hari dan Bahasa resmi (Singapura, Malaysia, dan sejumlah negara Afrika). Lain halnya dengan negara di mana Bahasa Inggris sebagai EFL (Bahasa inggris sebagai Bahasa asing), Bahasa Inggris tetap dipelajari di sekolah dan universitas tetapi tidak digunakan secara luas atau sebagai Bahasa resmi (Thailand, Jepang, dan Indonesia). 

Meskipun secara teoretis, posisi Bahasa Inggris di Indonesia sama seperti di Jepang, Korea Selatan, dan Iran, namun penguasaan Bahasa Inggris masyarakat Indonesia masih jauh berada di bawah negara-negara tersebut (https://www.ef.co.id/epi/regions/asia/). Salah satu indikatornya adalah, jumlah publikasi internasional yang ditulis orang Indonesia di jurnal-jurnal terideks pemeringkat dunia belum sebanyak jumlah yang ditulis oleh akademisi dari negara-negara tersebut, 

Dengan terbatasnya pemaparan urgensi dan peran  diatas, perlu disadari bahwa penggunaan Bahasa Inggris sebagai Bahasa pengantar di dunia harus dipersiapkan sedini mungkin guna membantu terwujudnya masyarakat yang berkembang dalam aspek pendidikan dan dunia kerja. Tidak ada ruginya untuk mempersiapkan hal-hal yang akan dibutuhkan, dan kecakapan Bahasa Inggris salah satunya. Sedia payung sebelum hujan, Bahasa Inggris bisa kita taklukkan kawan.

Pembangunan KIT: Masa Depan Integrasi dan Pemenuhan Hak Dasar

Andhika Yudha Pratama – Dosen Universitas Wisnuwardhana Malang

Tulisan ini pada mulanya tidak ada hubungannya sama sekali dengan memanasnya isu Papua yang akhir-akhir ini menjadi topik paling dicari. Tulisan dan diskusi hari ini lebih diakibatkan karena silaturahmi yang berujung obrolan serius. Pertemuan satu bulan yang lalu antara penulis dengan founder Heuristik.id-Bung Hilmi menghasilkan kesepakatan bahwa tema obrolan kita harus dibawa ke ranah diskusi. Membicarakan seputar pengalaman empiris penulis tantang perjumpaannya dengan mahasiswa bimbingannya dari Indonesia Timur membuat obrolan ini menjadi larut. Banyak hal ketika itu yang kita obrolkan di warung Pecel mengenai bagaimana perlakuan diskriminatif yang dialami oleh mahasiswa dari Indonesia Timur di Malang. Barangkali, perlakuan diskriminatif yang dialami oleh mahasiswa yang menyentuh naluri kalbu kita bersama tidak pernah terbesit sebelumnya ketika mereka belum datang ke Jawa dengan ekspektasi-ekspektasinya. Namun, kejadian ini nyata terjadi ditengah-tengah semangat mengobarkan Bhinneka Tunggal Ika. Tidak perlu ada yang paling pantas berada di pihak benar ataupun salah karena antara masyarakat penerima, komunitas anak ‘Timur’, dan diri kita sendiri masih gagal memahami satu dengan yang lain.

    Tajuk tulisan yang hadir ditengah sidang pembaca kali ini hendak mengutarakan pandangan menganai permasalahan klasik untuk wiliyah di Kawasan Indonesia Timur (KIT). Penulis menggunakan istilah KIT untuk menunjuk wilayah provinsi Nusa Tenggara Timur, Maluku, Papua dan Papua Barat. Tema kajian mengenai KIT barangkali telah dikaji ratusan kali oleh para ilmuan tanah air maupun manca negara. Mayoritas kajian tersebut menyepakati bahwa pembangunan di KIT jauh untuk bisa dikatakan cukup dan adil. Penulis tidak menggunakan ukuran pembangunan yang ideal karena menghindari relativitas pandangan mengenai indikator pembangunan yang ideal itu seperti apa. Dengan menggunakan kata pembangunan yang cukup dan adil setidaknya secara metodologis, penulis bisa menggunakan studi komparatif untuk membuat narasi-narasi mengenai pembangunan di KIT. Selain itu, memang pembangunan di KIT tidak ada urusan dan masalah mengenai idealitas pembangunan karena yang bermasalah adalah mengenai keadilan pembangunan.

    Dalam sebuah forum diskusi yang mengkaji pembangunan di Indonesia Timur, Prof. Budy Resosudarmo pernah mengemukakan bahwa secara umum pertumbuhan ekonomi di wilayah NTT, Maluku, Papua tidak jauh berbeda dengan wilayah bagian barat. Pendapat dari seorang guru besar bidang ekonomi di Australia National University ini mematahkan bahwa terjadi stagnansi pertumbuhan ekonomi di wilayah Indonesia Timur. Dalam paparan yang disampaikan, Prof. Budy memberikan catatan-catatan menarik mengenai pertumbuhan ekonomi di KIT. Memang secara agregasi pertumbuhan ekonomi (PDB per kapita) untuk KIT tidak jauh berbeda dengan wilayah yang lain, namun tingkat inequality (ketidaksamarataan) di KIT sangat tinggi. Papua memilik sumber daya alam berupa emas, perak, tembaga, timah, dan lain sebagainya. NTT memiliki kandungan minyak yang ditemukan sejak 1920 serta kekayaan maritim yang luar biasa. Maluku  yang kini mempunyai 25 blok migas yang mendatangkan keuntungan yang sangat besar. Dengan berbagai kekayaan sumber daya alam di wilayah yang disebutkan itu sekiranya sulit untuk menyangkal bahwa KIT adalah wilayah yang seharusnya sejahtera.

    Persepsi mengenai kekayaan alam di KIT telah meninggalkan konsep kesejahteraan rakyat. Amanat konstitusi (pasal 33 (3) UUD NRI tahun 1945) yang menyatakan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat harusnya menjadi pijakan pembangunan. Makna kata “dikuasai” sungguh terjadi bias dalam implementasinya. Prof. Budy Resosudarmo mengatakan lebih lanjut bahwa pertumbuhan ekonomi di KIT tidak dibarengi dengan pendistribusian keuntungan yang adil atau diistilahkan sebagai equality benefit dalam ilmu ekonomi. Lantas, jika demikian kondisinya maka kekayaan sumber daya alam di beberapa wilayah di KIT telah dimanfaatkan oleh segelintir pihak dan konsentrasi keuntungannya tidak tersebar secara merata kepada masyarakat. Oleh karena itu, terjadinya praktik oligarki dalam pemanfaatan sumber daya alam di KIT sulit untuk disangkal.

    Potrait ketipangan antara urban area dan rural area di KIT terjadi cukup masif. Kita semua cukup terhenyak dengan kasus bencana kelaparan di Kabupaten Asmat pada tahun 2018 dan untuk kasus yang sama terjadi di Kabupaten Yahukimo pada tahun 2009 yang menewaskan seratus jiwa lebih. Berkaca dari kasus tersebut maka cukup ada bukti bahwa konsentrasi kesejahteraan hanya terjadi di kota-kota strategis. Eksploitasi sumber daya alam di KIT bisa saja terus meningkat dari segi keuntungan, namun keuntungan yang di dapat tidak terdistribusikan untuk pembanguan yang berorientasi pada kesejahteraan masyarakat sekitar. Jika demikian faktanya maka eksplorasi sumber daya alam di KIT cukup pantas dipadu-padankan dengan kata penjarahan.

    Penulis setuju dengan beberapa pengkaji lainnya bahwa pembangunan tidak hanya berbicara pembangunan ekonomi. Ada hal yang harusnya lebih diutamakan terkait pembangunan dari hanya dimensi ekonomi saja untuk KIT. Pemenuhan hak-hak dasar sebagai manusia yang bermartabat harusnya dibangun lebih kokoh karena akan menjadi pijakan utama dalam koridor pembanguan KIT. Penulis meyakini hal itu menjadi urusan pertama karena mayoritas akar konflik terjadi karena ada penegasian martabat sebagai manusia bagi orang-orang di KIT. Orang-orang Maluku, Sumba, Papua, dan daerah disekitarnya tengah berjuang menghadapi stigma yang disematkan pada mereka oleh orang yang berperadaban di daerah lain. Stigma yang kurang sesuai dengan yang diyakini oleh orang-orang KIT menjadikan perlakuan rasial dan diskrimanatif cukup sering mereka terima. Hal tersebut diperparah dengan kegagalan adaptasi budaya yang terjadi pada orang-orang dari KIT yang sedang merantau di daerah lain misalnya Jawa.

    Penulis berusaha memberikan kesan berbeda dalam kajian mengenai KIT. Banyak kajian yang sukses memberikan berbagai analisis mengenai pembangunan di KIT, namun tidak banyak yang mengkaji dari cara pandang orang timur itu sendiri. Kisah dari Ligina Judith Giay yang dimuat oleh tirto.id banyak menampilkan fakta-fakta di lapangan yang sama sekali tidak terpikirkan oleh masyarakat sekalipun itu orang orang timur. Artikel yang berjudul: Papuans, it’s not you, it’s them dan tentu yang ia tuliskan adalah berkaitan dengan Papua. Melalui tulisan ini ia sangat tidak mengira bahwa begitu rendah pandangan yang disematkankan kepada orang Papua. Anggapan sebagai orang terbelakang, pemabuk, kasar, tidak punya etika, kurang tampan/cantik, tidak beradab seolah telah menjadi penciri bagi orang Papua. Tidak ada pembicaraan tentang sebab-sebab yang membuat orang Papua putus asa. Tidak ada pembicaraan soal bagaimana negara ini-benda asing yang disodorkan secara paksa kepada orang Papua- hanya bisa berjaya melalui pemiskinan orang Papua, perampasan tanah, penggusuran, serta gelombang pendatang yang cukup mengancam eksistensi orang Papua. Ligia merasa bahwa negara secara habis-habisan melucuti kemanusiaan orang Papua.

    Keyakinan semacam itu sangat familiar. Saking lazimnya dipelihara dan dipraktikkan pada zaman penjajahan Belanda, Indonesia hari ini mengulanginya kembali. Percaya bahwa Papua serba kekurangan. Dari kepercayaan itu pula keberadaan Indonesia di Papua seolah bisa dibenarkan. Berangkat dari “ketertinggalan”, maka “pembangunan” adalah solusinya. Segala pandangan miring terhadap orang Papua ini ia kenali sebagai tatapan kolonial. Sentimen-sentimen yang dihadapi oleh orang Papua menjadi pelengkap yang semakin membenamkan peradaban mereka. Sebuah pandangan ekstrem di lontarkan oleh Ligia bahwa ian menyebut Jawa sebagai ibukota kolonial.

    Tulisan dari Ligia yang kini berstatus mahasiswa di Murdoch University kiranya banyak merefleksikan bagaimana stereotip yang disematkan pada etnisnya. Perlakuan tidak pantas atau tatapan kolonial tersebut sebenarnya juga sering terjadi kepada mahasiswa bimbingan penulis yang berasal dari NTT. Stereotip mengenai kelompok masyarakat yang terbelakang membawa mereka kepada pengalaman sosial yang kurang pantas. Kesulitan mereka mencari kamar sewa atau kos di beberapa wilayah sekitar kampus menjadi pengalaman nyata. Tulisan “kos khusus mahasiswa muslim” kiranya sedikit menyulitkan mereka untuk mendapatkan tempat tinggal sewa di Malang. Belum lagi penolakan dari pemiliki kamar sewa atas alasan bahwa kamar sudah penuh namun pada kenyataannya masih ada yang kosong. Hal tersebut diperparah dengan pengusiran, perlakuan kasar, tatapan sinis nan rasis yang tidak jarang mereka alami menjadi segudang permasalahan yang dihadapi oleh anak-anak dari KIT di tanah rantaunya. Jika begitu maka penulis berkesimpulan bahwa urusan rasis dan diskriminatif sebenarnya bukan urusan orang Papua, NTT, Maluku melainkan itu permasalahan sosial kita di Jawa.

    Permasalahan pembangunan di KIT sungguh kompleks. Kesalahan besar apabila perlakuan yang diberikan hanya sebatas pembangunan ekonomi semata. Perkara pengakuan sebagai sebuah bangsa yang memiliki identitas lokal yang kuat harus ditampilkan utama sebagai pijakan pemenuhan hak-hak dasar bagi masyarakat di KIT. Penelitian yang pernah diterbitkan oleh Warwick University tahun 2016 yang berjudul The Politics of Papua Project cukup memberikan gambaran mengenai akar konflik yang selama ini terjadi di Papua. Meskipun kajiannya berbicara Papua, setidaknya bisa direfleksikan untuk entitas NTT maupun Maluku. Penelitian ini berbicara mengenai bagaimana bias identitas terjadi di Papua. Penelitian yang diterjemahkan oleh Antinomi Institute ini mengemukan bahwa selama ini kita semua gagal dalam mengimajinasikan Papua sebagai sebuah etnik yang independen seperti suku bangsa lainnya. Imajinasi kita semua soal Papua terdesak oleh sebuah konsep yang bernama NKRI. Maka dari itu ketika orang Papua menuntut pemenuhan akan haknya lebih banyak dipahami dalam narasi nasionalisme dan sparatisme. Imajinasi yang bias tersebut pada akhirnya melegitimasi status DOM (Daerah Operasi Militer) di Papua.

    Diantara dinamika wilayah KIT, memang Papua menjadi wilayah yang paling dinamis daripada wilayah lainnya. Pemberian status Otonomi Khusus (Otsus) kepada Papua bagaikan “penebusan dosa” dari negara atas ketimpangan yang terjadi di Papua. Bidang kesehatan dan pendidikan yang diprioritaskan dalam skema anggaran ini. Penulis melihat otsus Papua ini semacam bom waktu untuk Indonesia. Pasca bentrokan di Manokwari beberapa hari yang lalu, Gubernur Lukas Enembe menyebutkan ada kurang lebih 1500 mahasiswa Papua yang tengah mengenyam pendidikan di berbagai penjuru dunia, termasuk di Perguruan Tinggi dalam negeri. Penulis tidak membayangkan jika mayoritas mereka mempunyai kisah dan pandangan sama seperti Ligia Judith Giay yang begitu kritis menjelaskan identitas ke-Papuannnya terhadap Indonesia serta mengalami pula bentuk diskriminasi dan rasial di perantauannya. Jika hal itu terjadi maka dana pendidikan yang dibiayai melalui dana Otsus semakin menambah besarnya potensi integrasi bangsa melalui gerakan kritis penuntutan hak asasi manusia oleh elit-elit intelektual Papua.

    Pembangunan KIT, khususnya Papua, begitu rumit untuk diuraikan. Akar konflik yang dijabaran oleh banyak pengkaji selama ini masih belum memberikan kepuasan akademik karena banyak diantaranya hanya dijelaskan secara parsial. Muridan S. Widjojo seorang peneliti senior LIPI menyajikan bahwa setidaknya ada empat simpul permasalahan di Papua. Empat hal tersebut, yaitu: 1) sejarah dan status politik yang bermasalah dari awal; 2) arus urban ke Papua yang berakibat semakin melebarnya disparitas antara orang Papua dan non-Papua di tanah Papua; 3) Operasi militer selama ini yang justru sering mengakibatkan pelanggaran HAM di Papua; 4) kegagalan paket kebijakan pembangunan Papua yang tidak sesuai seperti yang dikehendaki, termasuk Otsus bagi Papua. Berbagai hal yang disebutkan tersebut memang harus dipahami secara komprehensif.     Penulis merasa begitu rumitnya menyelesaikan pembangunan di KIT yang efektif dan efisien. Ketika pembangunan ekonomi, pendidikan, kesehatan hingga infrastruktur yang membuka konektifitas antar wilayah tidak dianggap sebagai kebutuhan utama, lantas apa sebenarnya yang harus dilakukan untuk menjaga masa depan keutuhan NKRI? Sebagai bagian akhir dari tulisan ini penulis justru merasa bahwa kita semualah yang harus saling belajar memahami. Relativisme budaya yang selama ini tidak berjalan harus dimulai sebagai langkah awal menjalin kekerabatan antar suku bangsa. Kita seyognya bisa memandang masyarakat NTT, Maluku, Papua sebagai keutuhan manusia dengan berbagai karakter budayanya masing-masing. Orang Jawa tidak perlu men-Jawa-kan orang Papua, NTT, Maluku. Lingkungan sosial harus jadi melting pot agar cita-cita persatuan tidak hanya berada dalam awang-awang. Menghilangkan standar ganda antar komunitas etnik harus sungguh-sungguh direfleksikan. Ketika kita berteriak “Merdeka” maka jiwa nasionalisme kita yang membuncah, namun ketika orang Papua dan Maluku berteriak “Merdeka” maka anggapan sparatisme langsung tersemat. Kita menuntut kehidupan yang demokratis agar kemudahan bisa diterima, namun ketika  orang Papua, Malaku atau NTT mencoba laku demokratis yang terjadi adalah anggapan anarkis. Menjadi Indonesia harus sering berkaca untuk diri kita sendiri untuk mencapai kesadaran berbangsa. Ditengah-tengah kegagapan menjelaskan identitas ke-Indonesiaan kita masing-masing kita harus terus menjaga kewarasan kita dalam berbangsa dan bernegara. Tulisan ini memang jauh dari kata tuntas untuk menjelaskan pembanguan KIT yang penuh dengan ketimpangan, namun setidaknya melalui diskusi setelahnya kita bisa memahami dan menyadari isu pembanguan KIT adalah tanggungjawab kita bersama.

DALAM BAYANG-BAYANG LORENG: Merenungi Hubungan Sipil dan Militer Di Era Demokrasi

Pemantik: Eki Robbi Kusuma

Demokrasi yang secara umum dapat diartikan sebagai kedaulatan rakyat atau suatu pemerintahan yang menempatkan rakyat sebagai pemilik kedaulatan. Kedaulatan itu pemerintahan yang legitimate adalah yang didukung oleh rakyat banyak. Pengertian mendalam terkait demokrasi bisa cukup mendalam, hanya saja secara garis besar dapat disebutkan seperti diatas.

Dalam mencapai tujuan demokrasi, rakyat membutuhkan lembaga-lembaga pemerintahan dan lembaga masyarakat. Daniel S. Lev menyebut bahwa birokrasi dan militer, badan legislative dan pengadilan sebagai unsur kekuasaan yang penting. Sedangkan lembaga masyarakat yang penting adalah partai politik, LSM, gereja, pesantren dan sebagainya.

Pertanyaan selanjutnya adalah kenapa demokrasi menjadi begitu penting? Perlu disimak pendapat Samuel P. Huntington terkait pertanyaan tersebut. Menurutnya demokrasi menjadi penting karena empat hal. 1) masa depan adalah masa depan kebebasan dunia (korelasi kebebasan dan demokrasi sangat tinggi). 2) masa depan demokrasi penting bagi tercapainya perdamaian dunia (“tidak ada dua masyarakat liberal yang saling bersaing”). 3)kecenderungan interdependensi antar negara sehingga apabila tidak memahami sistem demokrasi di satu sisi dan memakai sistem otoriter disisi lainnya, maka akan menimbulkan konflik. 4) maju mundurnya demokrasi akan membawa implikasi terhadap kehidupan sosial lain seprti pertumbuhan ekonomi, pemerataan pendapatan, stabiitas politik, keadilan ekonomi dan kemerdekan nasional.

Lanjut Huntington, bahwa demokrasi akan bergerak dalam dua syarat penting yaitu pendekatan prasyarat dan pendekatan proses. Pendekatan pertama menempatkan syarat ekonomi sebagai faktor penting dimana kemajuan ekonomi negara memperbesar peluang negara tersebut semakin demokratis. Syarat demokrasi yang kedua adalah struktur sosial, persoalan yang perlu diselesaikan dalam proses itu adalah kelas-kelas sosial, kelompok regional, profesim etnism dan kelompok agama yang relative otonom, kelompok tersebut penting dalam kaitannya dengan pembatasan kekuasaan negara dan pengendalian negara oleh rakyat.

Uraian diatas menjadi dasar untuk memasuki hubungan sipil dan militer di Indonesia. Sebagai negara yang baru merdeka tahun 1945, Indonesia mengalami masa-masa yang berat penuh tantangan. Setidaknya sebagai negara demokrasi baru tantangan seriusnya adalah mereformasi hubungan sipil dan militer. Tidak hanya itu setidaknya sejarah mencatat beberapa tantangan serius. Secara umum tantangan itu dirangkum oleh Huntington bahwa negara juga harus membangun kekuasaan di wilayah public, merancang konstitusi baru, menciptakan sistem kompetisi partai dan institusi demokrasi lainnya, liberalisasi, privatisasi dan bergerak ke arah ekonomi pasar, meningkatkan pertumbungan ekonomi dengan menahan laju inflasi dan pengangguran, mengurangi deficit anggaran, membatasi criminal dan korupsi serta mengurangi ketegangan dan konflik antar etnis dan kelompok agama.

Apakah sistem demokrasi mampu menangani permasalahan yang cukup kompleks sebagai negara demokrasi baru yang baru merdeka? Di awal kemerdekaan saja sudah terjadi 2 periodisasi demokrasi yang dikenal dengan Demokrasi Liberal dan Demokrasi Terpimpin. Jika membahas dua masa tersebut dapat disimpulkan bahwa demokrasi sendiri tidak cukup efektif dalam menangani tantangan-tantangan yang ada. Sehingga perjalanan panjang sejarah Indonesia masuk dalam masa Orde baru dimana organisasi Militer begitu kuat masuk dalam ranah politik hingga menekan civil society.

Melihat hubungan sipil dan militer di masa awal Indonesia hingga orde baru tidak bisa sebelah mata, perlu kejernihan dalam memandang hubungan yang problematik ini. Meminjam pendapat Agus Widjojo Di satu sisi sikap negative militer terhadap aktivitas masyarakat sipil didasarkan pada ciri dasar hierarki organisasi militer yang tertata rapi, tegas dan mempunyai rantai komando. Berbeda terbalik dengan kehidupan masyarakat sipil yang ideal dicirikan dengan banyaknya pilihan, persamaan hak dan kewajiban, dan perbedaan pendapat.

Dua alam atau pebedaan menadasar tersebut yang membuat hubungan sipil dan militer masa orde baru begitu buruk atau pada tataran tidak pernah diperhatikan. Bagi masyarakat sipil kebijakan-kebijakan masa orde baru begitu represif dan otoriter. Contoh kasus yang sederhana adalah larangan berambut gondrong pada masa orde baru. Walaupun tidak sampai model potongan rambut saja ditentukan seperti korea utara saat ini tetapi hal tersebut menjadi problematis dan memperburuk hubungan keduanya. Contoh lain juga mengenai SARA. Penyeragaman yang berujung pada dilarangnya masyarakat menonjolkan perbedaan SARA membuat beberapa umat beragama gerah. Konflik di tanjung priok misalnya menjadi peristiwa yang masih dapat dipelajari sebagai indikasi hubungan sipil dan militer yang tidak baik.

Orde baru memang berhasil membangun ekonomi dan keamanan menurut Abdoel Fattah tetapi hal itu harus dibayar dengan merosostnya daya usaha rakyat dan partisipasi masyarakat. Keterlibatan dan campur tangan negara yang kuat dan jauh dalam bidang politik, terutama melalui jaringan birokrasi dan aparat keamanan, telah mengakibatkan lemahnya partisipasi rakyat dalam politik. Oleh sebab itu walaupun Orde Baru berhasil mewujudkan stabilitas politik dan kemajuan ekonomi, hasilnya hanya sementara saja, karena pada kenyataannya Orde Baru tidak bisa menjawab tantangan zaman yang semakin kompleks.

Jika melihat keterlibatan Militer secara nyata pada ranah politik sebenarnya dapat dilacak pada masa-masa awal Demokrasi Terpimpin. Demokrasi Liberal/Parlementer yang sebelumnya menjadi kegaduhan politik sehingga jatuh bangunnya kabinet membuat kekuasaan sipil begitu lemah disaat itu Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Harold Crouch mencatat setidaknya tentara khususnya Angkatan Darat, ditarik ke dalam politik kekuasaan. Banyak perwira militer dibawa masuk untuk memegang jabatan dalam lembaga-lembaga resmi pemerintah, seperti menjadi menteri, anggota DPR/MPR, gubernur, atau jabatan-jabatan lainnya. Selain itu juga tentara menduduki badan penting seperti Pelaksana Perang Tertinggi (Peperti) yang dipimpin oleh Sukarno sendiri. Tentara menjadi kekuatan menonjol pada masa ini walaupun belum menguasai seluruh sendi kehidupan sosial masyarakat sipil.

Senada dengan Crouch, Sundhaussen juga mencatat bahwa pada masa 1957-1967 adalah era akomodasi politik Angkatan Darat. Masa awal demokrasi terpimpin adalah masa “Power Politics” dimana pasca Dekrit Sukarno membentuk Peperti yang mana dia tetap tergantung pada Angkatan Darat untuk menyelenggarakan hukum darurat pada tingkat pusat dan untuk melaksanakan kebijaksanaan Peperti di daerah-daerah. Kebijakan Sukarno kelihatannya semakin memperkuat kedudukan Peperda (Penguasa Pereang Daerah) yang berhak untuk berbicara dan bertindak atas nama Presiden. Dengan demikiran maka para panglima dapat mengontrol dengan efektif kegiatan politik di wilayah mereka masing-masing.

Pada fase selanjutnya Peperti/Peperda menjadi alat yang tidak dapat diandalkan di tangan presiden. Hal ini nampak pada surat-surat kabar PKI terus-menerus dilarang oleh tentara dan ini bertentangan sekali dengan kehendak Sukarno. DI kebanyakan provinsi Peperda menjadi alat tentara dan sekutu-sekutunya untuk mencegah pelaksanaan konsep NAsakom, dan untk merintangi kegiatan PKI pada umumnya. Hanya saja, Sukarno menyadari walaupun dia mendominasi politik di tingkat pusat tetapi di tingkat daerah dia tergantung pada tentara dalam hal pelaksanaan kebijaksanaan nasional di daerah.

Latar belakang historis ABRI (Militer) sangatlah menentukan dalam pekembangan peranan sosial politik selanjutnya. Magenda setidaknya melihat sejauh mana pengaruh ABRI dalam proses profesionalisasi, sikap korporasi, pelembagaan politik dan adanya suatu ideologi Nasional. Perihal itu tidak cukup untuk membahas dalam essay singkat ini, pembaca perlu membaca lebih lanjut referensi terkait seperti Ulf Sundhaussen diatas secara penuh dan Harold Crouch yang melihat studi ini dalam teori-teori kontemporer. Setidaknya dalam perjalanan panjang sejarah Indonesia, hubungan sipil dan militer menjadi sangat problematik.

 Secara teoritis jika kekuatan sipil melemah maka dapat dipastikan kekuatan militer akan menguat. Hal tersebut juga berlaku sebaliknya jika kekuatan sipil menguat maka kekuatan militer semakin berkurang. Permasalahan selanjutnya adalah dalam kondisi apa kekuatan sipil atau militer menguat?. Kekuatan militer menguat jika ada ancaman ekternal yang mengganggu keamanan dan kedaulatan sebuah negara. Disamping itu penguatan militer juga dapat disebabkan oleh lemahnya supremasi sipil sehingga menarik kekuatan militer dalam ranah politik.

Ada banyak hal yang bisa kita kaji terkait hubungan sipil – militer di Indonesia sampai saat ini dan jika memungkinkan pembaca menelusuri khasanah hubungan sipil – militer di berbagai belahan dunia untuk mendapatkan perbandingan dalam memandang hubungan yang problematic tersebut. Dalam era Demokratisasi saat ini dukungan sipil terhadap reformasi miiter dibutuhkan untuk menuju misi baru dan pembentukan doktrin-doktrin baru di tubuh militer. Sehingga kekuatan sipil yang kuat adalah kunci dalam demokratisasi untuk menyeimbangkan hubungan sipil dan militer.

Referensi:

Daniel S. Lev. 1999. Mencari Demokrasi. Jakarta: ISAI. hal. xi

Dalam Sidratahta Mukhtar.2017. Militer dan Demokrasi. Malang: Intrans. hal.5-6

Larry Diamond & Marc F. Plattner (ed). 2001. Hubungan Sipil-Militer & Konsolidasi Demokrasi. Jakarta: Rajawali Press. hal 4-5

Dalam Sidharta Mukhtar hal. 90-91

Abdoel Fattah. 2005. Demiliteriasai Tentara : Pasang Surut Politik Militer 1945-2004. Yogyakarta: LKIS. Hal. 7

Abdoel Fattah. 2005. Demiliteriasai Tentara : Pasang Surut Politik Militer 1945-2004. Yogyakarta: LKIS. Hal. 5

Sundhaussen, Ulf. 1986. Politik Militer Indonesia 1945-1967: Menuju Dwifungsi ABRI. Jakarta: LP3ES hal. 271-272

Dalam Amos Perlmutter. 2000. Militer dan Politik. Jakarta: Rajagrafindo Persada. Hal. xxxiv-xxxv

Ulf Sundhaussen. 1986. Politik Militer Indonesia 1945-1967: Menuju Dwifungsi ABRI. Jakarta: LP3ES

MEMBELA ROBERTUS ATAU ORBA

Pemantik: Rino Hayyu Setyo

Orasi terbuka yang ditujukan kepada pemerintah kali ini menarik sorotan tajam publik. Apalagi setelah ada  penetapan tersangka oleh kepolisian. Robertus Robet menjadi tersangka karena dianggap menghina TNI. Hinaan apakah itu?

Kita mestinya perlu melihat, mendengar, dan mencerna dengan lengkap orasi terbuka itu. Tidak hanya memotong sepenggal ketika Robertus menyanyikan lagu plesetan Mars ABRI saat menjelang Reformasi 21 tahun silam. Namun, sebelumnya ia sudah menyampaikan jika lagu ini dibuat ialah bagian dari sindiran kepada pemerintah orba kala itu. Dengan kekuatan militeristik yang masuk ke pemerintahan. Menurutnya, hal itu tidak sesuai dengan prinsip negera republik.

“Temen-temen sekalian ini bukan perkara personal. Ini bukan perkara kita membenci satu grup atau menolak satu grup. Yang ingin kita kokohkan adalah apa yang kita sebut dengan supremasi sipil.

Apa itu supremasi sipil? Supremasi sipil adalah satu gagasan, satu prinsip bahwa kehidupan publik, bahwa kehidupan politik, bahwa kehidupan demokrasi mesti dikendalikan dan dipegang oleh kaum sipil. Mengapa kehidupan demokrasi dan kehidupan politik ketatanegaraan mesti dipegang oleh kaum sipil? Tidak boleh dipegang oleh militer? Kenapa? Ada yang tahu enggak kenapa?

Satu alasan saja, saudara-saudara. Karena kalau militer adalah orang yang memegang senjata, orang yang memegang senjata, orang yang mengendalikan mendominasi alat-alat kekerasan negara tidak boleh mengendalikan kehidupan sipil lagi. Kenapa? Karena senjata tidak bisa diajak berdebat, senjata tidak bisa diajak berdialog. Sementara demokrasi, sementara kehidupan ketatanegaraan harus berbasis pada dialog yang rasional. Itu sebabnya kita pada waktu reformasi mau mengembalikan kembali tentara ke barak.

Bukan karena kita membenci tentara, kita mencintai tentara. Tentara yang apa? Tentara yang profesional untuk menjaga pertahanan Indonesia. Tapi kita tidak menghendaki tentara masuk ke dalam kehidupan politik. Kenapa? Karena itu akan membawa kehidupan sipil kita ke dalam marabahaya. Kenapa? Karena tadi yang saya katakan, tentara adalah kelompok sosial yang diberikan tugas untuk memegang senjata dan senjata tidak pernah kompatibel dengan demokrasi. Senjata tidak pernah kompatibel dengan kehidupan sipil.”

Sudut pandang sempit saya, ingin membicarakan tentang pendidikan publik. Biasa disebut dengan Public Pedagogy yang beririsan antara ilmu pendidikan dengan komunikasi massa. Membicarakan pedagogi publik tentunya tidak bisa lepas dari pandangan Ivan Illich tentang keberadaan sekolah. Institusi formal tersebut dianggap tidak bisa menyelesaikan permasalahan yang ada di masyarakat. Justru, institusi ini menimbulkan permasalahan baru. Salah satunya ialah pengangguran yang tidak kunjung terselesaikan hingga kapanpun. Pandangan ini seolah menjadi ruh pengantar Handbook of Public Pedagogy  yang disusun oleh Jennifer Sandlin, Brian D. Schultz, dan Jake Burdick.

Buku yang diterbitkan Rouledge Taylor Press 2010 itu menerangkan tentang memetakan dan mengeksplorasikan bidang pedagogi publik. Jennifer menyebutkan jika istilah ini dipopulerkan oleh Henry A. Giroux (1994).  Ia menyatakan bahwa pedagogi publik adalah sebuah dinamikadimana hubungan antara budaya, kekuasaan, dan politik diberi bentuk dengan cara membawa arus kemudi dan emansipasi.

Public Pedagogy is A dynamic where the relation between culture, power and politics are given shape in a steering and emancipating way

Selain itu, ia memperjelas jika pedagogi publik sebuah proses penyadaran publik. Hal ini sangat penting untuk menegakkan nilai-nilai represif dan hubungan sosial.

Sebagian besar, hal ini dilakukan dengan menjaga publik Amerika terserap dalam orbit konsumsi, komodifikasi, dan tampilan yang diprivatisasi, memverifikasi keyakinan bahwa tidak ada demokrasi tanpa publik yang terinformasi. Dalam hal ini, pedagogi menjadi pusat makna politik, karena sangat penting dalam memahami bagaimana budaya menyebarkan kekuasaan dan menghasilkan keinginan, nilai, dan mode identitas yang mendukung dan meniru tuntutan fundamentalisme pasar di mana nilai tukar menjadi satu-satunya nilai yang penting.

Giroux menjelaskan ini dalam Ensiklopedia Jurnal Oxford terbitan Juli 2016. Ia menekankan jika pedagogi publik digunakan sebagai sarana mempercepat pemahaman masyarakat mengenai suatu masalah yang ada di daerah masing-masing.

Disisi lain Jennifer (2010: vi), pedagogi publik telah datang untuk menandakan sebuah konsep penting dalam pendidikan  bahwa sekolah bukan satu-satunya situs pengajaran, pembelajaran, atau kurikulum, dan bahwa mungkin mereka tidak punya pengaruh.

Dengan demikian, tujuan dari memahami penggunaan pedagogi publik jangka dan berbagai, makna multifase melalui eksplorasi konteksnya sejarah, transisi teoritis, dan berbagai situasi praktek.

Ini adalah niat menyeluruh untuk menempatkan ide-ide sebagian besar berbeda dan pertanyaan ke dalam dialog dengan satu sama lain untuk menimbulkan peta konseptual lebih kuat pedagogi publik, aplikasi, keheningan, serta potensi kritis.

Potensi lahirnya kritik ini harus diorganisir kelompok. Khususnya dengan cara berfokus pada penggunaan budaya populer sebagai tempat potensial bagi keadilan sosial, kritik budaya, dan konsep ulang.

Budaya populer menjadi salah satu kunci keberhasilan dalam praktek pedagogi publik. Dikarenakan, perkembangan budaya populer ini lebih bisa diterima oleh kalangan muda untuk menggiring opini dan kesadaran publik. Tak hanya itu, pembahasan tentang pedagogi publik ini diharapkan dapat mengubah pola hidup yang lebih ideal. Giroux mengakui jika gerakan massa saat ini kurang populer. Sebab mempunyai stigma negatif. Oleh karena itu, ajakan kepada masyarakat untuk melakukan pembahasan terkait budaya sedang hangat di masyarakat.

Oleh karena itu, Aksi Kamisan itu sebenarnya sesuai dengan konsep Pedagogi Publik. Kegiatan sehari-hari kita yang dilakukan disekolah tidak mampu menyelesaikan permasalahan publik. Yakni behind the scene yang dibahas Robertus tentang revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI). Mengapa hal ini terjadi? Sebab banyaknya, Perwira Tinggi (Pati) dan Perwira Menengah (Pamen) menganggur. Sehingga, Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto sibuk mencarikan pekerjaan mereka.

Dilansir dari Tempo.co Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto sebelumnya berencana memperluas pos jabatan bagi perwira tinggi tentara di internal TNI dan lembaga negara. “Kami menginginkan bahwa lembaga atau kementerian yang bisa diduduki oleh TNI aktif itu eselon satu, eselon dua. Tentunya akan juga menyerap pada eselon-eselon di bawahnya, sehingga kolonel bisa masuk di sana,” ujar Hadi dalam rapat pimpinan TNI di Cilangkap, Jakarta Timur, Kamis 31 Januari 2019.

Namun Hadi menuturkan langkah ini masih terhambat dan perlu menunggu revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, khususnya Pasal 47 agar perwira menengah dan perwira tinggi bisa berdinas di lembaga negara.

Daftar Bacaan

Giroux, H. 2016. Oxford Reasearch Encyclopedia of Communication. Oxford.

Giroux. H. 2004. Journal Communication and Critical/Cultural Studies. Vol I. Rouledge Taylor & Francis Group.

Sandlin, Jennifer dkk. 2010. Handbook of Public Pedagogi : Education And Learning Beyond Learning. New York: Rouledge Taylor & Francis Group

LAGU ANAK DULU DAN KINI

Pemantik: Kukuh Basuki Rahmat

Pada akhir tahun 2014 kemarin saya merasa gembira. Waktu itu saat menngunjungi rumah adik saya di Manado. Keponakan saya pada waktu itu berusia sekitar dua tahun. Ketika itu dia menangis entah aku lupa karena apa. Seketika adikku mendekap dan menenangkan anaknya sambil menyanyikan sebuah lagu yang asing bagi telinga saya.

“Jadi anak manis, gak boleh menangis, malu sama kucing, meong meong meong. Ayolah bernyanyi janganlah bersedih, malu sama kucing, meong meong meong” Begitulah kira-kira penggalan syairnya. Seketika itu juga keponakan saya berhenti menangis dan mulai mengikuti lagu yang dilantunkan adik saya. Dengan mata yang masih sembab, keponakan saya turut menyanyikan syair lagu yang pola nadanya sederhana itu.

Setelah beberapa hari di sana, saat menonton televisi, barulah saya sadar kalau itu lagu anak terbaru yang dinyanyikan oleh Romaria. Sontak seketika ada kegembiraan tersendiri bagi saya pribadi. Setelah beberapa tahun lamanya tidak ada lagu anak yang dirilis dan tenar di blantika musik nasional sejak era awal tahun 2000 an, lagu “Malu Sama Kucing” seolah menjadi percikan kesegaran di musim kemarau. Entah saya yang kuper atau bagaimana memang dalam rentang tahun 2002 sampai 2014 hampir tidak ada lagu anak yang ngehits. Terakhir yang saya ingat adalah pada tahun 2002 ada lagunya Tasya yang berjudul “Jangan Takut Akan Gelap”.

Sebenarnya ada beberapa lagu artis cilik yang beberapa waktu muncul di sekitar rentang waktu itu. Sebut saja salah satunya adalah lagunya Tegar “Aku yang Dulu Bukanlah yang Sekarang”. Tapi entah mengapa saya enggan mengkategorikannya sebagai lagu anak. Coba simak bait awal dari lagu itu. “ Aku yang dulu bukanlah yang sekarang // Dulu ditendang sekarang ku disayang // Dulu dulu dulu ku menderita // Sekarang aku bahagia.” Ya, lagu itu mengandung unsur sarkasme, “ditendang”. Walaupun itu sebuah kisah nyata dan hak prerogatif pencipta lagu, akan sangat berat memaksakan lagu itu masuk kategori lagu anak. Lagu itu lebih mudah dikategorikan masuk lagu umum remaja.

Kembali ke lagu “Malu Sama Kucing”, saya sempat optimis bahwa lagu anak akan menemukan titik kebangkitannya seiring ngehitsnya lagu itu.Hampir setiap hari diputar di radio dan televisi. Namun sayangnya itu hanya berlanjut beberapa bulan saja. Single yang dikeluarkan setelah itu yaitu “Jangan Ngambek Aja” dan “ Mama Kaulah Bintang” tidak sepopuler lagu sebelumnya. Sementara lagu anak lainnya kala itu hampir tak terdengar eksistensinya. Jadilah era lagu anak yang mulai terang itu mulai meredup lagi.

Hingga awal tahun 2018 ini muncul lagu “Telur Dadar” anak sulung penyanyi Anji, Saga. Lagu ini cukup viral di internet dan juga cukup sering diputar di radio dan televisi. Hal ini membuat optimisme saya kembali membuncah. Lagu anak bisa seperti era saya masih kecil dulu. Masih jauh sih perbandingannya. Ya tapi paling tidak keoptimisan itu harus ada.

Era Konsumsi Kekerasan

Menjadi anak di era milenial ini bisa jadi era yang sangat berat daripada era saya masih kecil dulu. Era sekarang merupakan era di mana sangat mudah sekali menemui kekerasan. Media televisi, sebagai media massa paling familier, adalah media yang sangat sering menayangkan kekerasan. Mulai dari berita tawuran, pengeroyokan, persekusi, penggusuran paksa, dan perang.

Di film fiksipun tak jauh beda. Adegan pembunuhan dan darah bercecer di manamana bukanlah hal yang tabu. Walaupun itu bukan adegan nyata, tapi pastilah hal itu terekam dalam alam bawah sadar anak dan terjadi proses pewajaran. Bahwa hal itu adalah hal yang biasa saja. Wajar dan tidak perlu ditakutkan.

Munculnya gadget dengan media sosialnya yang semakin beragam tidak membawa keadaan lebih baik. Munculnya media facebook memungkinkan anak membuat akun dan bebas berteman dengan siapa saja. Saya dulu pertama kali melihat video penganiayaan secara vulgar melalui video yang diunggah salah seorang teman di facebook. Saya tidak yakin video itu tidak dilihat oleh anak-anak yang turut memakai facebook sebagai piranti sosialnya.

Di media lainnyapun tidak lebih bagus bagi tumbuh kembang mental anak. Banyak bertebarannya ujaran kebencian dan debat kasar orang-orang dewasa turut mengkontaminasi pola pikir dan berbahasa pada anak. Hal itu akan sangat mudah diimitasi oleh anak dan tidak menutup kemungkinan mereka akan mempraktekannya di dunia nyata.

Jadi jika anak-anak sekarang perilakunya kasar dan perkataannya kotor, alangkah kurang bijaknya jika kita serta-merta menyalahkan anak-anak. Mereka seperti itu karena mencontoh perilaku orang dewasa di media massa dan media sosial. Apa yang mereka lihat, apa yang mereka dengar, dan apa yang mereka rasakan dari media akan menjadi tabungan alam bawah sadar, yang suatu saat bisa keluar ketika mereka kehilangan kontrol diri.

Dalam hal ini saya teringat seorang budayawan Sujiwo Tedjo yang pernah mengkritik perfilman dan juga pertelevisian negeri ini. Di film, orang ciuman kok disensor, tapi kalau orang bunuh-bunuhan dipertontonkan? Mungkin seperti itulah kira-kira, saya lupa persisnya. Hal itu juga cocok dengan pendapatnya penyanyi legendaris John Lennon yang mengatakan bahwa “Kita hidup di dunia di mana kita harus bersembunyi-sembunyi untuk bercinta sedangkan kekerasan dipertontonkan di tengah terik hari”. Sebuah ironi dari masyarakat kita yang konon katanya cinta damai.

Mereka akan meniru apa saja yang dilakukan orang dewasa. Mereka adalah imitator yang hebat. Jika terlalu banyak kekerasan yang tertanam di alam bawah sadar mereka, maka kekerasanlah yang akan mendominasi perilakunya. Jadilah mereka pribadi yang jiwanya kasar.

Di sinilah urgensinya sentuhan nada dan lirik lagu yang sarat nilai estetis. Irama yang membuat mereka dapat menikmati keindahan bunyi. Menumbuhkan optimisme, kebahagiaan dan kelembutan hati. Sebuah asupan nutrisi jiwa yang sesuai proporsional dengan perkembangan mental anak. Eksistensi lagu anak tak bisa ditawar-tawar lagi.

Sebuah cerita nostalgia untuk hari esok

Melihat keringnya populasi lagu anak di era milenial ini, membuat anak zaman sekarang tidak punya banyak pilihan. Genitnya lagu remaja dan dewasapun lebih familier bagi mereka. “Jaran Goyang”, ”Lagi Syantik”, “Dia”, “Surat Cinta Untuk Starla” akan mudah terlantun dari mulut-mulut mungil mereka.

Sejenak membuang jengah kita bernostalgia di era ‘90an. Anak di era itu sangat kaya perbendaharaan lagu anak. Mereka mempunyai banyak pilihan idola cilik.

Beberapa lagu yang saya ingat pada waktu itu adalah “Diobok-obok” (Joshua), “Aku Adalah Anak Gembala” (Tasya), “Andai Aku Besar Nanti” (Sherina), “Kuku” (Chiquita Meidy), “Du Di Dam” (Eno Lerian), “Ci… luk… ba…” (Maisy Pramaisshela), “Cinta Rupiah” (Saskia & Geofanny), “Katanya” Trio Kwek-kwek, “Lumba-lumba” Bondan Prakoso, “Si Meong” (Agnes Monica), “Cita-citaku” (Susan & Ria Enes), “Amelia” (Dhea Ananda).

Lagu-lagu itu melengkapi lagu-lagu anak yang sudah legendaris karangan Pak Kasur, Bu Kasur, A. T. Mahmud, Ibu Sud, Papa T Bob dan lainnya. Lagu-lagu itu antara lain “Bintang Kecil”, “Cicak di Dinding”, “Naik Kereta Api”, “Lihat Kebunku”, “Pelangi”, “Bangun Tidur”, “Helli”, “Naik-naik ke Puncak Gunung”, “Nenek Moyangku”, “Kapal Api”, “Tukang Kayu”, “Burung Kutilang”, “Burung Hantu”, “Burung Kakak Tua”, “Delman”, “Becak”, “Topi Saya Bundar”, “Bintang Kejora”, “Nina Bobok”, dan banyak lagi.

Waktu berlalu, hari berganti. Waktu yang dahulu bukanlah yang kini. Tak bijak juga terus berlama-lama bernostalgia dan membanggakan masa lalu. Saatnya bergerak dan membuat hari ini berseri-seri dan esok yang lebih berarti. Kreasi cipta lagu anak harus bangkit kembali. Untuk menemani tumbuh kembang kanak-kanak negeri ini sampai mereka besar nanti.

KALA TEKNOLOGI MENJADI CINTA

Pemantik: Michael Aprillino Fernandes

Sebagai generasi milenial yang selalu disebut-sebut sebagai generasi jaman now atau generasi micin tentu saja kita dapat merasakan berbagai macam kemajuan jaman yang semakin hari semakin menjadi. Kemajuan jaman itu paling banyak terjadi pada bidang teknologi yang dijaman sekarang memiliki pengaruh paling besar bagi kehidupan. Teknologi yang terus dikembangkan oleh manusia dengan alasan untuk memperoleh kemudahan-kemudahan (instan) dalam aktifitas sehari-hari. Mendorong terjadinya apa yang disebut dengan era Revolusi Industri 4.0.

Dengan terjadinya era Revolusi Industri 4.0, tentu saja memberikan begitu banyaknya dampak bagi kehidupan-kehidupan social yang ada di dalam masyarakat. Salah satunya adalah tantangan untuk menciptakan inovasi-inovasi baru yang dapat memberikan gebrakan maju kedepan dengan hasil kemudahan bagi aktifitas dalam kehidupan manusia.

Namun di era Revolusi Industri 4.0 terdapatnya dampak yang mungkin sulit untuk dipercaya atau bahkan dimengerti oleh kebanyakan manusia. Salah satu dari dampak itu adalah pernikahan antara manusia dengan robot. Berita-berita mengenai kejadian yang mungkin oleh mayoritas orang di katakana sangatlah aneh telah tersebar sangatlah luas di dunia maya (internet). Seperti halnya dilansir dari Kompas.Com- 07/04/2017 dalm sebuah artikel yang ditulis oleh Reska K. Nistanto dapat diketahui bahwa seorang pria berumur 31 tahun asal Hangzhou, China, yang bernama Zheng Jiajia. Zheng yang pada sebelumnya bekerja sebagai karyawan di perusahaan telekomunikasi multinasional Huawei kini ia menjadi pembuat robot dan praktisi kecerdasan buatan (artificial intelligence atau AI). Dikabarkan telah menikahi robot buatannya sendiri yang ia berinama Ying-Ying. Alasan pria tersebut menikahi robot buatannya sendiri diketahui karena kegagalannya dalam mencari calon istri.

Kasus-kasus serupa pernah terjadi di beberapa Negara lainnya seperti halnya di Kanada dan Jepang. Dilansir dari Inet Detik dan Ketahui.Com diketahui bahwa adanya seorang pakar robotika dari Jepang bernama Le Trung yang menikahi robot ciptaannya. Robot berbentuk perempuan yang diciptakan Le Trung tersebut diberi nama Aiko. Bahkan diketahui bahwa Le Trung sampai mengeluarkan dana hingga 14.000 Poundsterling untuk menyempurnakan Aiko. Dinegara Jepang sendiri adanya kejadian serupa, dilansir dari Kumparan.Com mengenai seorang lelaki bernama Senji Nakajima yang menikahi boneka robotik bernama Naori.

Di Prancis Sendiri pernah terjadinya kasus serupa. Dilansir dari Bangkapos.Com adanya seorang wanita bernama Lily yang membuat robot bernama InMoovator menggunakan printer 3D. Kemudian robot itu ia jadikan sebagai pasangan hidupnya (suami). Diketahui alas an Lily melakukan ide yang mungkin menurut mayoritas orang disebut gila itu adalah ia sudah sangat menyukai robot sejak usia 19 tahun dan tidak menyukai berkontak fisik dengan manusia. Dalam twitternya ia pernah menuliskan “Aku robosexual, kami tidak menyakiti siapa pun dan kami sangat bahagia”.

Kasus-kasus diatas tentu saja merupakan salah satu dampak dari perkembangan teknologi di era Revolusi Industri 4.0. Bahkan dilansir dari Liputan6.Com adanya seorang ilmuwan yang bernama David Hadson telah berhasil menciptakan robot Sophia yang sangatlah mirip dengan manusia mengungkapkan visinya dalam makalahnya yang berjudul “Entering the Age of Living Intelligent Systems and Android Society” bahwa pada tahun 2045 robot akan dapat memiliki hak untuk menikah dengan manusia termasuk mempunyai tanah dan memilih dalam pemilihan umum. Pendapatnya ini ia dasara dengan maraknya hubungan (pernikahan) manusia dengan robot yang terjadi di tahun 2018.

Pendapat dari ilmuwan dan kasus-kasus tersebut tentu saja menimbulkkan tanda tanya besar di setiap individu. Terdapat adanya pro dan kontra mengenai adanya kasus-kasus diatas.

Sebetulnya apabila kita mencermati lebih dalam lagi arti dari apa yang disebut sebagai pernikahan menurut KBBI adalah ikatan (akad) perkawinan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum dan ajaran agama: hidup sebagai suami istri tanpa — merupakan pelanggaran terhadap agama;. Sedangkan menurut Wikipedia.com adalah upacara pengikatan janji nikah yang dirayakan atau dilaksanakan oleh dua orang dengan maksud meresmikan ikatan perkawinan secara norma agama, norma hukum, dan norma sosial. Upacara pernikahan memiliki banyak ragam dan variasi menurut tradisi suku bangsa, agama, budaya, maupun kelas sosial. Penggunaan adat atau aturan tertentu kadang-kadang berkaitan dengan aturan atau hukum agama tertentu pula.

Inti dari kedua pengertian itu dari pernikahan adalah “ikatan” yang terjalin antara dua individu. Apabila dikaitkan dengan kasus-kasus di atas mengenai adanya pernikahan antara manusia dengan robot seharusnya hal itu dapat diperbolehkan. Hal ini dikarenakan hal itu tidaklah merugikan orang lain dan bukanlah suatu paksaan. Jika kita kembali menengok mengenak kasus-kasus yang terjadi diatas adalah dikarenakan adanya kegagalan mencari pasangan hidup. Secara tidak langsung hal itu merupakan hak asasi mereka yang merupakan keputusan hidup mereka. Secara umum apabila kita ingin mencari pasangan hidup tentu saja tidaklah dapat bisa dipaksanakan ataupun memaksakan, dikarenakan itu adalah pillihan hidup masing-masing. Sehingga kasus-kasus di atas dapat dipandang sebagai suatu hal yang secara fisik jarang terjadi, namun secara hati nurani adalah hal lumrah.

Terlebih lagi mengingat bahwa ini merupakan jaman kemajuan teknologi, sehingga tentu saja kecerdasan buatan yang dimiliki robot semakin mengalami kemajuan sehingga bukanlah suatau hal yang mustahil apabila teknologi yang digunaan untuk mempermudah manusia itu, juga dapat mengobati rasa kesepian dan kekosongan hati yang selalu dirasakan oleh semua insan manusia. Tentu saja hal itu merupakan suatu dampak positif dari perkembangan jaman. Selama hal itu tidaklah merugikan orang lain dan berdampak positif kepada dirinya kenapa hal itu haruslah di perdebatkan.

Referensi:

https://kbbi.web.id/nikah

http://bangka.tribunnews.com/2017/04/15/gila-wanita-ini-malah-suka-bercinta-dengan-robot-bahkan-mau-menikah-resmi

https://inet.detik.com/science/d-1051957/ilmuwan-pacari-robot-ciptaannya

https://ketahui.com/gila-5-orang-ini-memilih-untuk-hidup-bahkan-menikah-dengan-benda-mati

https://kumparan.com/@kumparantech/ketika-manusia-pilih-sehidup-semati-dengan-robot

https://id.wikipedia.org/wiki/Pernikahan

https://www.liputan6.com/health/read/3539397/tahun-2045-manusia-bisa-menikah-dengan-robot

GENERASI MILENIAL DAN PERISTIWA 1965

Pemantik: Eki Robbi Kusuma

Peristiwa 1965 merupakan sebuah pembicaraan yang masih sangat sensitif, baik diruang publik maupun akademik. Hegemoni tafsir dan wacana yang begitu kuat menjadi masalah untuk generasi sekarang menemukan perspektif yang komprehensif memandang peristiwa paling berdarah di negeri ini. Tulisan ini tidak akan membahas detail dan masuk dalam perdebatan siapa benar dan siapa salah yang sampai saat ini belum menemukan penyelesaian yang memuaskan, karena akan mengurangi esensi dalam belajar sejarah yakni agar kita bijaksana.

Setiap generasi akan menafsirkan sejarah sesuai jamannya, kata Hegel. Setidaknya pernyataan tersebut dapat dijadikan bahan merenung terkait bagaimana generasi milenial melihat peristiwa 1965. Di tengah gelombang tsunami informasi saat ini, tidak sulit untuk menemukan sumber-sumber baik buku maupun jurnal serta tulisan yang dapat dipertanggungjawabkan isinya yang membahas mengenai peristiwa tersebut.

Persoalannya, apakah generasi milenial yang melek teknologi dan gadget-able setiap hari ini ter-literasi dengan baik? Atau malah iliterasi. Selanjutnya, bagaimana mereka memandang peristiwa 1965 yang notabene merupakan masalah yang multidimensional sehingga untuk menguraikannya membutuhkan energi yang tidak sedikit. Namun, apa urgensinya mempelajari peristiwa tersebut? Lebih umum belajar sejarah.

Budaya Literasi

Hal pertama menyoal literasi, Ane Permatasari menjelaskan perihal literasi dapat diartikan melekteknologi, melek informasi, berpikir kritis, peka terhadap lingkungan, bahkan juga peka terhadap politik. Seorang dikatakan literat jika ia sudah bisa memahami sesuatu karena membaca informasi yang tepat dan melakukan sesuatu berdasarkan pemahamannya terhadap isi bacaan tersebut. Walaupun Literasi memiliki banyak dimensi, dan di tahun 2015 pemerintah sudah mulai mencanangkan Gerakan Literasi Nasional tetapi dalam hal ini berakar pada literasi baca tulis.

Persoalannya kemudian, dipaparkan Surangga sensus Badan Pusat Statistik (BPS) di 2006 menunjukkan 85,9 persen masyarakat memilih menonton televisi daripada mendengarkan radio (40,3 persen) dan membaca koran (23,5 persen). Masyarakat Indonesia belum terbiasa melakukan sesuatu berdasarkan pemahaman dari membaca. Masyarakat Indonesia belum dapat mengaktualisasikan diri melalui tulisan. Membaca dan menulis belum menjadi budaya dan tradisi bangsa Indonesia. Masyarakat lebih familiar dengan media visual (menonton), verbal (lisan) atau mendengar dibandingkan membaca, apalagi menulis.

Permatasari menambahkan UNESCO mencatat indeks minat baca di Indonesia baru mencapai 0,001. Artinya, pada setiap 1.000 orang, hanya ada satu orang yang punya minat membaca. Masyarakat di Indonesia rata-rata membaca nol sampai satu buku per tahun. Kondisi ini lebih rendah dibandingkan penduduk di negara-negara anggota ASEAN, selain Indonesia, yang membaca dua sampai tiga buku dalam setahun. Angka tersebut kian timpang saat disandingkan dengan warga Amerika Serikat yang terbiasa membaca 10-20 buku per tahun. Saat bersamaan, warga Jepang membaca 10-15 buku setahun.

Dengan data tersebut, seharusnya cukup menggambarkan bagaimana budaya literasi pada umumnya masyarakat Indonesia. Minimnya dan mirisnya budaya ini akan menjadi masalah pelik ketika dikaitkan dengan pembelajaran sejarah yang pondasinya adalah membaca. Dengan tingkat budaya literasi yang rendah, tidak dipungkiri jika milenial dalam melihat peristiwa 1965 amat bergantung pada prasangka-prasangka yang berkembang dan pewarisan ingatan generasi sebelumnya. 

Milenial dan Peristiwa 1965

Siapa Generasi Millenial ? Ali menjelaskan Setelah perang dunia ke 2, kelompok demografis (cohort) dibedakan menjadi 4 generasi yaitu generasi baby boomer, generasi X (Gen-Xer), generasi millennials dan generasi Z. Generasi baby boomer adalah generasi yang lahir setelah perang dunia kedua (saat ini berusia 51 hingga 70 tahun). Disebut generasi baby boomer karena di era tersebut kelahiran bayi sangat tinggi. Generasi X adalah generasi yang lahir pada tahun 1965 hingga 1980 (saat ini berusia 35 hingga 50 tahun). Generasi millennials adalah generasi yang lahir antara tahun 1981-2000, atau yang saat ini berusia 15 tahun hingga 34 tahun. Generasi Millennials (juga dikenal sebagai Generasi Millenial atau Generasi Y) adalah kelompok demografis setelah Generasi X, sedangkan generasi Z merupakan generasi yang lahir setelah tahun 2000 hingga saat ini.

Jika mengacu pada teori-teori konflik maka millenials sebenarnya masih begitu dekat dengan ingatan peristiwa tersebut karena milenialls dapat dikatakan generasi pertama dari generasi yang mengalami peristiwa 1965. Konflik yang dialami oleh generasi sebelum milenial akan dipersepsikan pada generasi milenial ditambah dengan internalisasi wacana-wacana yang kuat dari rezim yang berkuasa untuk mempertahankan legitimasi. Hanya saja, kedekatan itu tidak seolah-olah membuat milenials benar-benar merasakan, atau menganggap konflik itu benar-benar nyata dan mewariskan konflik tersebut.

Generasi milenial sendiri, jika kita cermati pun dapat dikelompokkan lagi berdasarkan rentang generasi 80-an, 90-an dan mungkin 2000-an. Kategori tersebut hanya untuk memudahkan bagaimana memahami cara pandang milenial terhadap peristiwa 1965. Menurut Ali Generasi Millennial merupakan generasi yang unik, dan berbeda dengan dengan generasi lain. Hal ini banyak dipengaruhi oleh munculnya smartphone, meluasnya internet dan munculnya jejaring sosial media (social media). Ketiga hal tersebut banyak mempengaruhi pola pikir, nilai-nilai dan perilaku yang dianut. Generasi Millenial adalah generasi yang “melek teknologi”. Munculnya teknologi (gadget dan internet), perubahan geografis dan perubahan daya beli secara berlahan tapi pasti telah mengubah perilaku dan nilai nilai yang dianut oleh manusia. Urban middle-class millennials adalah masyarakat yang memiliki perilaku dan nilai-nilai yang unik yang disebabkan oleh melekatnya tiga entitas tersebut. Masyarakat urban middle-class millennials merupakan masyarakat muda terbuka (open minded), individualis, dan masyarakat multikultur sehingga memunculkan budaya-budaya baru

Kata kuncinya ada pada masyarakat muda yang terbuka. Keterbukaan ini adalah pintu masuk untuk melihat peristiwa 1965 secara lebih objektif. Tujuannya tidak lain agar bangsa ini memahami dirinya sendiri dengan mempelajari sejarah bangsanya. Terkhusus peristiwa 1965 yang menjadi genosida politik dan tragedi kemanusiaan paling besar sepanjang sejarah bangsa ini yang masih tertutup kabut.

Iqra Anugrah berpendapat bahwa perlu melihat tragedi 1965 dalam rangkaian kekerasan massal yang lain: genosida di Rwanda, pendudukan dan kelaparan paksa di Timor Leste, pembantaian di Kamboja, dan bahkan holocaust Nazi di Jerman. Dari perspektif tersebut, terang sudah bahwa tragedi 1965 juga merupakan bagian dari sejarah kelam pembantaian di berbagai tempat di dunia – kecuali jikalau orang Kiri dianggap sebagai setengah manusia, binatang, atau seorang jalang.

Walaupun ada upaya-upaya politisisasi kembali terhadap peristiwa tersebut tetapi hal itu malah membawa milenials mencari kebenaran peristiwa-peristiwa tersebut. Jika tidak diarahkan dengan baik maka yang terjadi bisa saja seperti adopsi simbol-simbol nazisme oleh generasi muda. Hitler dan Nazi-isme yang diadopsi sebagai symbol perlawanan terhadap Yahudi saat ini dan kegagahan Jerman sehingga muncul keinginan menirunya tanpa pengetahuan yang mumpuni dalam melihat sejarah.

Tidak terkecuali peristiwa 1965, maukah kita menelusuri kompleksitas sebuah tragedi kemanusiaan yang dilakukakan oleh komponen-komponen masyarakat dan disponsori oleh negara yang skalanya cukup besar dan luas ke berbagai bidang kehidupan. Asvi Warman Adam dalam pidato pengukuhannya sebagai profesor riset di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Kamis pagi 26 Juli 2018 menjelaskan Tiga periode perdebatan historiografi G30S/1965. Periode pertama menurut Asvi meliputi periode perdebatan di seputar siapa dalang peristiwa G30S 1965 yang terjadi pada kurun 1965-1968, periode kedua terjadi penulisan sejarah resmi oleh pemerintah Soeharto yang dimulai sejak 1968 sampai 1998. Pada periode ini pula upaya menghilangkan peran Sukarno dalam sejarah terjadi. Periode ketiga terjadi semenjak berhentinya Soeharto sebagai presiden pada 21 Mei 1998. Asvi menyebut periode ketiga ini sebagai periode pelurusan sejarah.

Awal tahun 2000 ketika Gus Dur menjabat sebagai Presiden pernah mengajukan ide pencabutan Tap MPRS yang melarang Partai Komunis Indoneia (PKI) dan penyebaran Komunisme/ Marxisme/ Leninisme, yakni Tap MPRS No. XXV/MPRS/1966 yang akhirnya menuai protes keras saat itu. Dua alasan pokok atas ide pencabutan Tap MPRS tersebut. Pertama, tidak ada lembaga yang bisa melarang ideologi, karena ideologi berada di dalam pikiran manusia. Kedua, kebenaran sejarah tentang keterlibatan PKI dalam pembunuhan terhadap enam perwira tinggi Angkatan Darat pada tanggal 30 September 1965, sebagaimana diklaim oleh rezim Soeharto (dan sebagaimana secara sosial diyakini sebagai satu-satunya kebenaran), perlu diperiksa ulang. Namun, dari kedua alasan itu, tidak satu pun yang dijadikan sasaran kecaman dalam aksi-aksi protes tersebut. Argumen utama penolakan ide pencabutan Tap MPRS yang melarang PKI dan ajaran komunisme di Indonesia adalah bahwa komunisme bertentangan dengan Pancasila, di mana sila pertama berbunyi “Ketuhanan yang Maha Esa”

Milenial mungkin memiliki budaya literasi yang kurang tetapi keterbukaannya terhadap infomasi akan membawa generasi ini lebih objektif melihat peristiwa 1965. Tidak dapat dipungkiri bahwa perdebatan siapa dalang dibalik peristiwa tersebut masih menjadi perbincangan hangat, tetapi jika dicermati secara holistik tidak ada aktor tunggal dalam peristiwa tersebut. Disamping itu sejarah tidaklah hitam dan putih, setiap kelompok memiliki kecacatannya masing-masing dan sudah seyogyanya tidak memengaruhi keseluruhan sumbangsihnya terhadap bangsa dan negara. Mari membaca, jangan hanya berprasangka.

Referensi:

Ane Permatasari.2015. Membangun Kualitas Bangsa Dengan Budaya Literasi. Prosiding Seminar Nasional Bulan Bahasa UNIB 2015 halaman 148.

 Dimensi Literasi lihat Panduan Gerakan Literasi Nasional yang diterbitkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayan Jakarta 2017 halaman 6

 I Made Ngurah Surangga.2017. Mendidik Lewat Literasi Untuk Pendidikan Berkualitas. Jurnal Penjaminan Mutu LPM Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar Volume 3 nomor 2 Agustus 2017 halaman 155.

 Baca Budiawan. 2004. Mematahkan Pewarisan Ingatan: Wacana Anti-Komunis dan Politik Rekonsiliasi Pasca-Soeharto. Jakarta: ELSAM

 Ali, Hasanuddin, dkk. 2016. Indonesia 2020: The Urban Middle Class Millenials. Jakarta: Alvara Research Center. 

 Anugrah, Iqro.2015. Genosida* 1965 dan Tragedi Kemanusiaan dan Serangan atas perjuangan kelas. Artikel online https://indoprogress.com/2015/10/genosida-1965-tragedi-kemanusiaan-dan-serangan-atas-perjuangan-kelas/

 Lihat http://historia.id/modern/articles/setengah-abad-historiografi-g30s-dan-dua-solusi-kasus-genosida-1965-DBKRM

 Budiawan.2004. Mematahkan Pewarisan Ingatan: Wacana Anti-Komunis dan Politik Rekonsiliasi Pasca-Soeharto. Jakarta: ELSAM halaman 2.

BUKU DISITA? YA TUKU MANEH! (SEBUAH REALITA RENDAHNYA LITERASI)

Pemantik: Alfanul Ulum

Peristiwa penyitaan (atau pengamanan) buku di Padang dan Kediri beberapa waktu lalu bisa dikatakan sebagai puncak gunung es dari rendahnya literasi masyarakat kita. Bagaimana tidak? Lha wong yang disita dan dilabeli “tidak aman” sehingga perlu diamankan itu ternyata tidak ditelaah dulu isinya sebelum diambil. Jangankan ditelaah, dibaca isinya pun tidak. Jangankan dibaca isinya, dibaca nama penulisnya pun tidak. Asal dicurigai ada “bau” komunis, ambil. Saya sendiri belum pernah mencium bau komunis seperti apa. Tapi kalau bau cewek, saya bisa cerita. Hal tersebut terbukti dari daftar buku yang diambil, ternyata ada buku tulisan Ir. Soekarno, presiden pertama Indonesia. Selain itu, ada juga buku sejarah tentang upaya pembunuhan Presiden Soekarno yang diberi pengantar oleh putrinya, Megawati Soekarno Putri. Bahkan, saat peluncurannya, mantan presiden kelima itu ikut hadir. Masak ya beliau pro komunis? Wong beliau sekarang juga termasuk anggota Badan Pembinaan Ideologi Pancasila. (#ketahuanPinternya).

Di sisi lain, seandainya memang benar buku-buku yang diambil itu adalah buku tentang komunisme,  cara pelaksanaannya ternyata tidak sesuai dengan ketentuan. Seperti kita tahu (kecuali yang belum tahu), sejak tahun 2010 MK telah mencabut Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1963 tentang Pengamanan Terhadap Barang-Barang Cetakan yang Isinya dapat Mengganggu Ketertiban Umum. Regulasi yang diteken oleh Presiden Soekarno tersebut dulunya dijadikan dasar hukum Orde Lama dan Orde Baru untuk melakukan “tindakan preventif” agar tidak terjadi gangguan terhadap ketertiban umum. Sayangnya, niat baik pemerintah kala itu lambat laun malah jadi alat politis untuk membungkan kritik terhadap pemerintah atau kebijakannya. Itu karena definisi “mengganggu ketertiban umum” yang ada di aturan tersebut seperti jamnya orang Indonesia: gampang molor. 

Maka dari itu, jika di zaman now ini kok masih ada oknum aparat yang melakukan razia buku, maka bisa jadi mereka ini lagi pingin buku gratis tingkat literasi hukumnya rendah. Bahkan, jika mereka bilang aksi razia buku itu demi menegakkan TAPMPRS nomor  XXV/MPRS/1966 yang salah satu isinya mengatur tentang larangan ajaran komunisme, maka harusnya aturan tersebut dijalankan dengan memegang prinsip berkeadilan dan menghormati hukum, prinsip demokrasi dan hak asasi manusia (TAP MPR RI nomor  I/MPR/2003 pasal 2). (Banyak banget yang harus dibaca, aarrghhh….. ).

Namun, bukan aparat namanya kalau gak bisa berkilah. Menurut Dandim Kediri Letkol Inf Dwi Agung Sutrisno, razia ini adalah tindak lanjut dari laporan warga. Okelah, berarti hal tersebut adalah delik aduan (opo maneh iku?). Saya nggak akan membahas bagaimana prosedur dari delik aduan. Namun, saya hanya berusaha membayangkan, warga seperti apa yang datang ke toko buku, membeli buku, membaca isinya, lalu memutuskan bahwa buku itu berisi paham komunis? Karena menurut saya, sedikit sekali ada warga biasa (selain mahasiswa tingkat akhir yang dikejar TA) datang ke toko buku lalu berlama-lama di bagian politik-sosial-budaya untuk menelaah isi buku-buku kategori tersebut. Paling-paling yang banyak dikunjungi adalah rak buku sekolah. Itupun hanya saat awal tahun ajaran baru atau saat menjelang ujian dengan asumsi bahwa dia beli untuk anaknya, bukan untuk dirinya sendiri.

Saya curiga, jangan-jangan warga yang dimaksud itu hanya membaca judulnya saja (atau malah hanya melihat desain sampulnya). Atau jangan-jangan dia adalah warga yang merasa terganggu dengan diskusi yang ndakik-ndakik saat ada acara bedah buku atau semacamnya di toko buku tersebut. Dan gara-gara hal tersebut, si warga jadi baper, lalu melapor pada TNI (entah kenapa bukan pada polisi) demi menjaga Pancasila. Bisa jadi. Bisa enggak jadi. Wong ini juga hanya angan-angan saja.

Maka dari itu, saya mengusulkan untuk mengundang aparat dan warga yang berpotensi baper ikut dalam acara seminar, bedah buku, atau diskusi apapun tentang buku-buku yang mereka sita. Mengapa? Ya biar bisa tahu isinya tanpa perlu baca. Dengan begitu orang-orang gak akan baper hanya lantaran “mencium bau” bukunya saja.

Pelibatan aparat dan warga juga perlu dilakukan dalam kegiatan diskusi tentang ideologi yang “katanya” dianggap mengancam keutuhan NKRI dan bertentangan dengan Pancasila. Lihatlah bagaimana Cak Nun bersama jamaah Maiyah-nya mampu merangkul warga, aparat, dan pejabat untuk duduk bersama dan berdiskusi tentang berbagai hal. Tak jarang, topik yang didiskusikan pun seringkali mengkritik pemerintah, menelanjangi nalar yang mbulet, atau membahas dasar-dasar negara yang kurang kokoh. Namun, diskusi mereka nggak pernah dianggap mengganggu ketertiban umum.

Untuk itu, kembali lagi pada kasus penyitaan, jika di zaman now tiba-tiba bukumu kok disita, yo tuku maneh ae. Kalau kamu nggak terima, ya laporkan ke pihak berwenang. Kan yang penting buku itu masih dijual di toko, nggak diberedel. Lagipula, FYI, salah satu buku yang disita itu ternyata bisa diakses gratis dan bebas di iPusnas sampai detik ini. Judulnya “Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan” karya Soe Hok Gie. Bagi yang belum tahu, iPusnas adalah aplikasi perpustakaan daring milik Perpustakaan Nasional yang dikelola oleh negara! (lho, yang dikelola oleh negara aja gak apa-apa).

Oleh karena itu, perkara penyitaan buku ini harusnya kita sikapi dengan adem. Ketidaktahuan karena tidak membaca tersebut harus kita lawan dengan mendorong mereka untuk membaca. Kegiatan literasi yang sekarang sedang marak di lingkungan akademisi dan aktivis harus membias di kalangan yang lain, terutama di kalangan aparat sebagai ujung tombak penegakan hukum. Jika tidak, mereka, terutama yang berpangkat rendah, akan membabi buta melaksanakan niat baik menjaga NKRI dan Pancasila. Toh, Kepala Pusat Penerangan TNI, Brigjen TNI Sisriadi, sudah menjelaskan di acara Mata Najwa bahwa anak buahnya tidak sempat baca buku itu sebelum disita. Selain itu, tindakan penyitaan itu juga bukan komando dari pusat, melainkan hanya inisiatif dari oknum yang ada di daerah.

Perkara penyitaan buku ini baru akan jadi perkara serius kalau negara sebagai sebuah lembaga mulai melarang dan memberedel penerbitan buku-buku secara masif dan sistematis. Itu artinya, negara tidak lagi mempercayakan kontrol informasi dan ilmu pada akademisi dan tokoh masyarakat, lalu berusaha memonopolinya sendiri seperti pada masa-masa yang telah lalu. Itu baru dinamakan kemunduran.

Wallahu a’lam bisshowaab