DALAM BAYANG-BAYANG LORENG: Merenungi Hubungan Sipil dan Militer Di Era Demokrasi

Pemantik: Eki Robbi Kusuma

Demokrasi yang secara umum dapat diartikan sebagai kedaulatan rakyat atau suatu pemerintahan yang menempatkan rakyat sebagai pemilik kedaulatan. Kedaulatan itu pemerintahan yang legitimate adalah yang didukung oleh rakyat banyak. Pengertian mendalam terkait demokrasi bisa cukup mendalam, hanya saja secara garis besar dapat disebutkan seperti diatas.

Dalam mencapai tujuan demokrasi, rakyat membutuhkan lembaga-lembaga pemerintahan dan lembaga masyarakat. Daniel S. Lev menyebut bahwa birokrasi dan militer, badan legislative dan pengadilan sebagai unsur kekuasaan yang penting. Sedangkan lembaga masyarakat yang penting adalah partai politik, LSM, gereja, pesantren dan sebagainya.

Pertanyaan selanjutnya adalah kenapa demokrasi menjadi begitu penting? Perlu disimak pendapat Samuel P. Huntington terkait pertanyaan tersebut. Menurutnya demokrasi menjadi penting karena empat hal. 1) masa depan adalah masa depan kebebasan dunia (korelasi kebebasan dan demokrasi sangat tinggi). 2) masa depan demokrasi penting bagi tercapainya perdamaian dunia (“tidak ada dua masyarakat liberal yang saling bersaing”). 3)kecenderungan interdependensi antar negara sehingga apabila tidak memahami sistem demokrasi di satu sisi dan memakai sistem otoriter disisi lainnya, maka akan menimbulkan konflik. 4) maju mundurnya demokrasi akan membawa implikasi terhadap kehidupan sosial lain seprti pertumbuhan ekonomi, pemerataan pendapatan, stabiitas politik, keadilan ekonomi dan kemerdekan nasional.

Lanjut Huntington, bahwa demokrasi akan bergerak dalam dua syarat penting yaitu pendekatan prasyarat dan pendekatan proses. Pendekatan pertama menempatkan syarat ekonomi sebagai faktor penting dimana kemajuan ekonomi negara memperbesar peluang negara tersebut semakin demokratis. Syarat demokrasi yang kedua adalah struktur sosial, persoalan yang perlu diselesaikan dalam proses itu adalah kelas-kelas sosial, kelompok regional, profesim etnism dan kelompok agama yang relative otonom, kelompok tersebut penting dalam kaitannya dengan pembatasan kekuasaan negara dan pengendalian negara oleh rakyat.

Uraian diatas menjadi dasar untuk memasuki hubungan sipil dan militer di Indonesia. Sebagai negara yang baru merdeka tahun 1945, Indonesia mengalami masa-masa yang berat penuh tantangan. Setidaknya sebagai negara demokrasi baru tantangan seriusnya adalah mereformasi hubungan sipil dan militer. Tidak hanya itu setidaknya sejarah mencatat beberapa tantangan serius. Secara umum tantangan itu dirangkum oleh Huntington bahwa negara juga harus membangun kekuasaan di wilayah public, merancang konstitusi baru, menciptakan sistem kompetisi partai dan institusi demokrasi lainnya, liberalisasi, privatisasi dan bergerak ke arah ekonomi pasar, meningkatkan pertumbungan ekonomi dengan menahan laju inflasi dan pengangguran, mengurangi deficit anggaran, membatasi criminal dan korupsi serta mengurangi ketegangan dan konflik antar etnis dan kelompok agama.

Apakah sistem demokrasi mampu menangani permasalahan yang cukup kompleks sebagai negara demokrasi baru yang baru merdeka? Di awal kemerdekaan saja sudah terjadi 2 periodisasi demokrasi yang dikenal dengan Demokrasi Liberal dan Demokrasi Terpimpin. Jika membahas dua masa tersebut dapat disimpulkan bahwa demokrasi sendiri tidak cukup efektif dalam menangani tantangan-tantangan yang ada. Sehingga perjalanan panjang sejarah Indonesia masuk dalam masa Orde baru dimana organisasi Militer begitu kuat masuk dalam ranah politik hingga menekan civil society.

Melihat hubungan sipil dan militer di masa awal Indonesia hingga orde baru tidak bisa sebelah mata, perlu kejernihan dalam memandang hubungan yang problematik ini. Meminjam pendapat Agus Widjojo Di satu sisi sikap negative militer terhadap aktivitas masyarakat sipil didasarkan pada ciri dasar hierarki organisasi militer yang tertata rapi, tegas dan mempunyai rantai komando. Berbeda terbalik dengan kehidupan masyarakat sipil yang ideal dicirikan dengan banyaknya pilihan, persamaan hak dan kewajiban, dan perbedaan pendapat.

Dua alam atau pebedaan menadasar tersebut yang membuat hubungan sipil dan militer masa orde baru begitu buruk atau pada tataran tidak pernah diperhatikan. Bagi masyarakat sipil kebijakan-kebijakan masa orde baru begitu represif dan otoriter. Contoh kasus yang sederhana adalah larangan berambut gondrong pada masa orde baru. Walaupun tidak sampai model potongan rambut saja ditentukan seperti korea utara saat ini tetapi hal tersebut menjadi problematis dan memperburuk hubungan keduanya. Contoh lain juga mengenai SARA. Penyeragaman yang berujung pada dilarangnya masyarakat menonjolkan perbedaan SARA membuat beberapa umat beragama gerah. Konflik di tanjung priok misalnya menjadi peristiwa yang masih dapat dipelajari sebagai indikasi hubungan sipil dan militer yang tidak baik.

Orde baru memang berhasil membangun ekonomi dan keamanan menurut Abdoel Fattah tetapi hal itu harus dibayar dengan merosostnya daya usaha rakyat dan partisipasi masyarakat. Keterlibatan dan campur tangan negara yang kuat dan jauh dalam bidang politik, terutama melalui jaringan birokrasi dan aparat keamanan, telah mengakibatkan lemahnya partisipasi rakyat dalam politik. Oleh sebab itu walaupun Orde Baru berhasil mewujudkan stabilitas politik dan kemajuan ekonomi, hasilnya hanya sementara saja, karena pada kenyataannya Orde Baru tidak bisa menjawab tantangan zaman yang semakin kompleks.

Jika melihat keterlibatan Militer secara nyata pada ranah politik sebenarnya dapat dilacak pada masa-masa awal Demokrasi Terpimpin. Demokrasi Liberal/Parlementer yang sebelumnya menjadi kegaduhan politik sehingga jatuh bangunnya kabinet membuat kekuasaan sipil begitu lemah disaat itu Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Harold Crouch mencatat setidaknya tentara khususnya Angkatan Darat, ditarik ke dalam politik kekuasaan. Banyak perwira militer dibawa masuk untuk memegang jabatan dalam lembaga-lembaga resmi pemerintah, seperti menjadi menteri, anggota DPR/MPR, gubernur, atau jabatan-jabatan lainnya. Selain itu juga tentara menduduki badan penting seperti Pelaksana Perang Tertinggi (Peperti) yang dipimpin oleh Sukarno sendiri. Tentara menjadi kekuatan menonjol pada masa ini walaupun belum menguasai seluruh sendi kehidupan sosial masyarakat sipil.

Senada dengan Crouch, Sundhaussen juga mencatat bahwa pada masa 1957-1967 adalah era akomodasi politik Angkatan Darat. Masa awal demokrasi terpimpin adalah masa “Power Politics” dimana pasca Dekrit Sukarno membentuk Peperti yang mana dia tetap tergantung pada Angkatan Darat untuk menyelenggarakan hukum darurat pada tingkat pusat dan untuk melaksanakan kebijaksanaan Peperti di daerah-daerah. Kebijakan Sukarno kelihatannya semakin memperkuat kedudukan Peperda (Penguasa Pereang Daerah) yang berhak untuk berbicara dan bertindak atas nama Presiden. Dengan demikiran maka para panglima dapat mengontrol dengan efektif kegiatan politik di wilayah mereka masing-masing.

Pada fase selanjutnya Peperti/Peperda menjadi alat yang tidak dapat diandalkan di tangan presiden. Hal ini nampak pada surat-surat kabar PKI terus-menerus dilarang oleh tentara dan ini bertentangan sekali dengan kehendak Sukarno. DI kebanyakan provinsi Peperda menjadi alat tentara dan sekutu-sekutunya untuk mencegah pelaksanaan konsep NAsakom, dan untk merintangi kegiatan PKI pada umumnya. Hanya saja, Sukarno menyadari walaupun dia mendominasi politik di tingkat pusat tetapi di tingkat daerah dia tergantung pada tentara dalam hal pelaksanaan kebijaksanaan nasional di daerah.

Latar belakang historis ABRI (Militer) sangatlah menentukan dalam pekembangan peranan sosial politik selanjutnya. Magenda setidaknya melihat sejauh mana pengaruh ABRI dalam proses profesionalisasi, sikap korporasi, pelembagaan politik dan adanya suatu ideologi Nasional. Perihal itu tidak cukup untuk membahas dalam essay singkat ini, pembaca perlu membaca lebih lanjut referensi terkait seperti Ulf Sundhaussen diatas secara penuh dan Harold Crouch yang melihat studi ini dalam teori-teori kontemporer. Setidaknya dalam perjalanan panjang sejarah Indonesia, hubungan sipil dan militer menjadi sangat problematik.

 Secara teoritis jika kekuatan sipil melemah maka dapat dipastikan kekuatan militer akan menguat. Hal tersebut juga berlaku sebaliknya jika kekuatan sipil menguat maka kekuatan militer semakin berkurang. Permasalahan selanjutnya adalah dalam kondisi apa kekuatan sipil atau militer menguat?. Kekuatan militer menguat jika ada ancaman ekternal yang mengganggu keamanan dan kedaulatan sebuah negara. Disamping itu penguatan militer juga dapat disebabkan oleh lemahnya supremasi sipil sehingga menarik kekuatan militer dalam ranah politik.

Ada banyak hal yang bisa kita kaji terkait hubungan sipil – militer di Indonesia sampai saat ini dan jika memungkinkan pembaca menelusuri khasanah hubungan sipil – militer di berbagai belahan dunia untuk mendapatkan perbandingan dalam memandang hubungan yang problematic tersebut. Dalam era Demokratisasi saat ini dukungan sipil terhadap reformasi miiter dibutuhkan untuk menuju misi baru dan pembentukan doktrin-doktrin baru di tubuh militer. Sehingga kekuatan sipil yang kuat adalah kunci dalam demokratisasi untuk menyeimbangkan hubungan sipil dan militer.

Referensi:

Daniel S. Lev. 1999. Mencari Demokrasi. Jakarta: ISAI. hal. xi

Dalam Sidratahta Mukhtar.2017. Militer dan Demokrasi. Malang: Intrans. hal.5-6

Larry Diamond & Marc F. Plattner (ed). 2001. Hubungan Sipil-Militer & Konsolidasi Demokrasi. Jakarta: Rajawali Press. hal 4-5

Dalam Sidharta Mukhtar hal. 90-91

Abdoel Fattah. 2005. Demiliteriasai Tentara : Pasang Surut Politik Militer 1945-2004. Yogyakarta: LKIS. Hal. 7

Abdoel Fattah. 2005. Demiliteriasai Tentara : Pasang Surut Politik Militer 1945-2004. Yogyakarta: LKIS. Hal. 5

Sundhaussen, Ulf. 1986. Politik Militer Indonesia 1945-1967: Menuju Dwifungsi ABRI. Jakarta: LP3ES hal. 271-272

Dalam Amos Perlmutter. 2000. Militer dan Politik. Jakarta: Rajagrafindo Persada. Hal. xxxiv-xxxv

Ulf Sundhaussen. 1986. Politik Militer Indonesia 1945-1967: Menuju Dwifungsi ABRI. Jakarta: LP3ES

Leave a comment