PECAHAN TRAUMA YANG TAK AKAN PERNAH HILANG*

Pemantik: Rizal Adhi Pratama

VOLKPOP.CO – Sebelas hari sudah berlalu sejak Tragedi Kanjuruhan pada 1 Oktober 2022 yang merenggut setidaknya 132 korban jiwa. Masih tergambar jelas di kepala saya bagaimana bencana itu terjadi.

Sekarang hidup berjalan kembali, hari-hari berlanjut sekali lagi. Tapi hari tak lagi sama bagi mereka yang ditinggalkan, bahkan hidup tak lagi sama bagi saya sendiri.

Selama 3 tahun menjadi jurnalis, tidak pernah saya menyangka akan menjadi saksi tragedi sepakbola terburuk nomor 2 di dunia. Batin saya tidak pernah siap bagaimana pertandingan yang seharusnya menyenangkan entah hasilnya akan menang atau kalah, sepakbola adalah entertainment, begitu menurut saya sampai detik ini.

Sepanjang saya hidup, saya tidak pernah menyaksikan orang asing meninggal di depan mata saya. Bahkan dalam bencana Gempa Malang pada 2021 lalu saya sanggup bertahan menjadi pewarta yang 24 jam menyiarkan informasi terkini. Tapi mungkin karena jumlah korban tidak separah ini, ada 10 orang meninggal, dan saya tidak melihat secara langsung para korban meninggal.

Tapi dalam tragedi ini, saya melihat secara langsung ratusan orang sekarat, ratusan orang tewas. Saya bahkan menyaksikan secara langsung detik-detik terakhir hidup seorang manusia dalam 2 hembusan nafasnya. Saya sanpai sekarang tidak tahu siapa namanya, alamatnya, ataupun di mana kuburannya sekarang, tapi wajahnya saat meninggalkan dunia ini masih tergambar jelas di memori otak saya.

Masih jelas di di ingatan saya ratusan orang tergeletak di berbagai sudut stadion. Lautan manusia ini tidak sedang menyuarakan protes karena timnya kalah, mereka tengah berjuang untuk bernafas, mereka tengah berjuang menghirup partikel-partikel oksigen bercampur asap memekakkan.

Saya kecewa, saya frustasi, saya benar-benar marah. Saya tidak bisa melakukan apapun saat itu, saya hampir gila selama seminggu ini. Telinga saya selalu memutar rekaman teriakan para korban setiap ingin memejamkan mata di tengah malam.

Teriakan-teriakan meminta pertolongan, saya ingat ada seorang perempuan berhijab menangis setengah sekarat meminta agar orang tuanya datang menjemput. Saya merasa pedih melihat mereka yang usianya jauh lebih muda dari saya.

Saya kecewa, saya frustasi, saya benar-benar marah. Melihat media sosial yang terus memperdebatkan siapa yang salah dalam tragedi ini. Saya muak dengan perdebatan penonton turun ke lapangan, menormalisasi kekerasan, dan tindakan antipati kepada para korban.

Bahkan ada saja pihak yang mencoba mencari keuntungan dalam tragedi ini. Apakah tidak ada empati? Bahkan alam saja menunjukkan empati, selama 11 hari sampai sekarang, langit di Malang selalu mendung diikuti hujan setiap hari.

Apakah empati manusia semahal itu untuk sejenak menutup mulut-mulut busuk menghormati para korban dalam tragedi ini?

Kembali kepada hari-hari saya, selama seminggu pasca kejadian, puluhan pejabat teras, kepolisian, sampai PSSI datang ke Malang. Tentu saja saya kecewa dengan kedatangan mereka, sebenarnya tak ada kejutan melihat tabiat mereka sejak dulu, tapi amat mengecewakan ternyata mereka sesuai ekspektasi saya.

Saling lempar tanggung jawab, saling menyalahkan, saling mencari pembelaan. Kata-kata duka seperti hanya template diucap sebelum menyalahkan atau memaparkan alibi.

Mungkin kata maaf amat mahal diucapkan raja-raja kecil di tiap-tiap instansi ini. Padahal, tanpa harus menjadi pecinta sepakbola kita tahu dengan pasti siapa saja yang jelas-jelas bersalah dalam tragedi ini baik secara langsung maupun tidak langsung.

Yang lebih menyedihkan, banyak pihak-pihak yang menjadikan tragedi ini sebagai bahan panjat sosial. Mereka yang tidak menyaksikan langsung kejadian ini berkomentar seolah-olah menjadi saksi kunci di internet.

Influencer sampai akan Youtube tang awalnya tidak pernah membahas sepakbola membuat asumsi liar. Bahkan sampai ada yang membuat konten mistis di Stadion Kanjuruhan. Keparat!

Selama 11 hari insomnia saya semakin parah. Saya sempat berpikir untuk berhenti menjadi jurnalis, dan mencari pekerjaan yang jauh dari dunia jurnalistik.

Setidaknya selama 5 hari terakhir saya menjauh dari handphone, menenangkan diri. Menjalin proses trauma healing. Selama itu saya menyadari, trauma ini akan menjadi bagian dari diri saya seumur hidup.

Akan menempel sebagai serpihan kaca yang menancap di dalam otak saya sampai mati. Saya bersyukur Arema FC disanksi bermain di luar Malang sampai akhir musim. Lebih baik saya menjauh dari dunia itu untuk sementara waktu. Karena sebegitu cintanya saya dengan tim ini, bahkan sampai rela merusak mental dan tubuh saya untuk mendukungnya.

Terakhir harapan saya, meskipun entah akan tercapai atau tidak, saking sedihnya berharap kepada mereka yang duduk di singgasana kerajaan-kerajaan kecil ini. Semoga ada perubahan signifikan dalam persepakbolaan negeri ini.

Mereka seharusnya malu, melihat pergerakan di tingkat grassroots yang sekarang sudah berubah 180 derajat. Para supporter yang menurut mereka sulit diatur, sekarang semuanya bersatu.

Pemandangan yang bahkan tidak pernah saya bayangkan sejak 20 tahun lalu adalah Aremania dan Bonek saling rangkul di depan patung kepala singa Stadion Kanjuruhan. Semoga raja-raja kecil ini malu.

*Artikel ini pernah diterbitkan di volkpop.co

Leave a comment